kamar dan jendela setengah terbuka. ruang ini kosong.
meja, kursi dan buku-buku tak dapat kuceritakan
dan hari esok penuh kecemasan
berlari, telah tertinggal di tingkat rendah
nafas hari, terengah melayani
saksi tak bertuan pada tumpuan sendi
merekah bunga-bunga pertanda
tapi kuyakin layu sebentar lagi
di terik dan ketidakjelasan
kutegakkan lagi tubuh yang membengkok
hari esok entah akan tiba atau menjadi kuburanku
menelan mimpi ke dalam perutnya yang buncit
pikiranku telanjang tanpa rasa malu
kubentangkan kalimat bertanda seru
dengan pisau-pisau tajamnya
aku tak takut meski harus tertembus peluru
malam
malam dengan seribu tanda tanya
dingin datang dari celah ventilasi
aku berselimutkan harap yang tebal
bak dinding besar cinta
tak mungkin runtuh, kecuali kau yang meruntuhkannya
di balik pintu ada luka, bersembunyi dan merintih
diam tapi penuh arti, kutahan saja.
agar kau paham, dan menerjemahkan semua ini.
kangen
rambutku mulai panjang.
tapi mereka tak ‘kan pernah mengerti
tentang penantian dan harapan.
kurapikan kamar dan hatiku, meski kau tak juga datang
dalam sajak, segala kutuang,
merajut kata tak bertitik
karena keyakinanku masih utuh
meski aku tak tahu akhirnya
mengeja peristiwa
buku-buku di atas meja belum habis kukunyah
aku masih belajar mengeja peristiwa
memaknai senyuman, tangis dan tawa
dan menikmati takdir meskipun terasa getir
pekerjaan masih menumpuk
dingin, hembusan angin
kutuang puisi ke dalam kalbu
bicara dan melafalkan keinginan
mengadu dan keluh kesah
daun-daun kering jatuh,
aku berusaha berlari sebelum itu terjadi
aku tak sekedar menapaki teori
atau meniti angka demi angka
pada hitungan nasib dan kesempatan
bukan juga soal-soal cerita
karena aku yang akan mengarang cerita itu sendiri
aku yang akan menjadi tokoh
dan aku tak butuh rumus serta hitungan
aku hanya butuh cinta
aku ingin mengerami pikiranku sendiri
dan menetaskan ide-ide untuk kujadikan babak pada perjalanan hidupku.
jika esok mentari mengucap salam, akan kubuka pintuku
biar jiwaku hangat, dan tak beku oleh rindu
bahwasanya aku ingin hanyut dalam takdirku sendiri
terdampar di masa depan
tanpa menawar setiap harga yang kudapatkan
karena aku yakin, semua telah sesuai
cukup untuk menjelaskan setiap kejadian.
rakyat sepatu
kita terjemahkan mimpi-mimpi
berbaris bukit-bukit dalam deru
menerjang kesangksian
menimbun duka hanya duka
melaju sekencang angin
ku percaya pada kata-katamu teman
bahwa puncak itu bisa kita daki
meski harus berdarah-darah
dan merenangi keringat sendiri
ada bukti yang mesti kita sampaikan dalam presentasi
menyuapi mereka dengan kenyataan yang tak terpungkiri
dari rasa sakit dan lelah yang kita lewati
menapaki sejarah penuh keyakinan
akan kubawa pulang pula kekasihku
agar kalian juga percaya
kita akan tunjukkan seberapa hebat kekuatan itu
srigala kecil
tadi pagi, kulihat ia menyisir takdir
menyibak puluhan kendaraan
dan tak bisa berteduh di bawah rindang undang-undang
karena undang-undang hanyalah payung bagi penguasa
sedang anak kecil itu hanya bisa menghindar dari terik zaman di bawah harapan yang usang dan keinginan yang hangus terbakar keserakahan
ia masih menahan perih, hingga tusukan terakhir yang mungkin akan menyita hidupnya
ia terlalu kecil untuk akrab dengan duka
tapi berusaha menyuapi pemilik sedan dan para dermawan dengan semangkuk berita hangat
padahal ia sendiri belum sarapan
hilang
negeri sedang meriang. Putra dan putrinya sendiri menyerang menguasai, berebut tahta.
denyut nadi tanah air,mencemaskan
tak kurasakan ada cinta bersemi
seperti cucu memijat neneknya yang tua
seperti induk harimau menyusuianaknya.
Semua telah hilang
Hanya lautan air mata, dan ombak yang bergulung.
dor
kucing ranjang pukul-memukul
antar bab tertawa
takut lupa, mata cantik
warna wajah dunia
tertampar geli
itu peluru tetap saja menembus dada
berlapis undang-undang
dor.