Jatuh cinta seperti tersungkurnya ego yang amat angkuh. Perlahan daya yang ada menguap dan membubung ke angkasa, bertransformasi menjadi awan kelabu dimana partikel keyakinan dan keraguan saling berbenturan membentuk kilatan. Maka suara yang menggelegar itu tak lain adalah derita yang menjerit-jerit tak karuan. Pemberontakan besar-besaran terhadap rezim yang bertahta begitu lama; sepi.
Seketika langit gelap. Aku sendiri menyaksikan paras sepi yang mengerikan. Ia menampakkan diri setelah bertahun-tahun menyekapku. Ngilu. Dan aku benar-benar tak berdaya menghadapi kenyataaan, bahwasanya ngilu itu lahir dari ketakutan yang membengkak.
Jatuh cinta begitu ekstrim bagiku. Susah untuk dicerna lewat formula matematik, tidak bisa dikira dengan ilmu probabilitas, dan terpental dari akal. Tiba-tiba saja muncul, semaunya. Tidak ada cahaya yang cemerlang, semua gelap. Tidak ada bunga-bunga yang merekah seperti banyak orang bilang. Aku seolah terpenjara dalam kerangkeng dan tak bisa menjelaskan apa yang terjadi.
Labirin yang berliku, cahaya tidak masuk, pengap. Aku coba meretas wajahnya, tiap kali aku berhasil saat itu aku gagal membedakan mana senyumnya dan mana matahari terbit. Senyum itu satu-satunya pengharapan untuk keluar dari lorong panjang yang samar akan pangkal dan ujungnya. Aku harus menguatkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan, entah tersesat atau menemukannya. Setidaknya aku harus bisa keluar dan menemukan jawaban, bahwa cinta seluarbiasa itu melemahkanku.
Sial! Aku belum pernah mendapatkan pelajaran sedikitpun untuk menghadapinya. Sama sekali tidak ada catatan yang kumiliki untuk sekadar mengolah strategi. Jatuh cinta nyatanya begitu menyakitkan. Aku ingin lari tapi tak bisa, aku ingin menghindar tapi selalu gagal. Pikiranku keruh namun bergelombang. Serupa laut tempat aku terombang-ambing kemudian tenggelam lagi ke dasar sepi.
Perempuan itu, keliru menafsirkannya. Ia berhasil meruntuhkan keangkuhanku. Lebih tepatnya kepercayaan diri yang lemah, angan semu yang gemerlap. Dan semua imajinasi yang menjulang tinggi serupa pohon tanpa akar yang kuat. Ketika aku tumbang, aku telah mengutuki banyak hal. Termasuk cinta yang agung. Hanya saja, kesadaranku tetap saja menempatkanku pada kemungkianan yang menggelisahkan.
Kawan. Rumit benar pikiranku. Bukan apa-apa, aku jatuh cinta dengan seorang perempuan yang kukenal amat dingin. Namun sekalinya tersenyum meski cuma seiris, melelehlah hatiku. Permasalahan inti yang jauh memprihatinkan sebenarnya justru berakar dari diriku sendiri. Kau tentu paham begitu menyedihkannya tak sanggup mengungkapkan perasaan.
Belakangan ini aku banyak merenung. Tentu tidak mudah bagiku dalam kondisi yang tidak strategis ini. Sama halnya ingin berperang tanpa persiapan dan pasok energy yang cukup, hanya menyerahkan diri sia-sia. Maksudku, aku harus banyak belajar menguatkan diri, menendang rasa takut sejauh-jauhnya. Bagaimana bisa menyelam tanpa bisa berenang.
Hal pertama yang kulakukan, aku harus ikhlas mengakui bahwa aku jatuh cinta.
Seketika langit gelap. Aku sendiri menyaksikan paras sepi yang mengerikan. Ia menampakkan diri setelah bertahun-tahun menyekapku. Ngilu. Dan aku benar-benar tak berdaya menghadapi kenyataaan, bahwasanya ngilu itu lahir dari ketakutan yang membengkak.
Jatuh cinta begitu ekstrim bagiku. Susah untuk dicerna lewat formula matematik, tidak bisa dikira dengan ilmu probabilitas, dan terpental dari akal. Tiba-tiba saja muncul, semaunya. Tidak ada cahaya yang cemerlang, semua gelap. Tidak ada bunga-bunga yang merekah seperti banyak orang bilang. Aku seolah terpenjara dalam kerangkeng dan tak bisa menjelaskan apa yang terjadi.
Labirin yang berliku, cahaya tidak masuk, pengap. Aku coba meretas wajahnya, tiap kali aku berhasil saat itu aku gagal membedakan mana senyumnya dan mana matahari terbit. Senyum itu satu-satunya pengharapan untuk keluar dari lorong panjang yang samar akan pangkal dan ujungnya. Aku harus menguatkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan, entah tersesat atau menemukannya. Setidaknya aku harus bisa keluar dan menemukan jawaban, bahwa cinta seluarbiasa itu melemahkanku.
Sial! Aku belum pernah mendapatkan pelajaran sedikitpun untuk menghadapinya. Sama sekali tidak ada catatan yang kumiliki untuk sekadar mengolah strategi. Jatuh cinta nyatanya begitu menyakitkan. Aku ingin lari tapi tak bisa, aku ingin menghindar tapi selalu gagal. Pikiranku keruh namun bergelombang. Serupa laut tempat aku terombang-ambing kemudian tenggelam lagi ke dasar sepi.
Perempuan itu, keliru menafsirkannya. Ia berhasil meruntuhkan keangkuhanku. Lebih tepatnya kepercayaan diri yang lemah, angan semu yang gemerlap. Dan semua imajinasi yang menjulang tinggi serupa pohon tanpa akar yang kuat. Ketika aku tumbang, aku telah mengutuki banyak hal. Termasuk cinta yang agung. Hanya saja, kesadaranku tetap saja menempatkanku pada kemungkianan yang menggelisahkan.
Kawan. Rumit benar pikiranku. Bukan apa-apa, aku jatuh cinta dengan seorang perempuan yang kukenal amat dingin. Namun sekalinya tersenyum meski cuma seiris, melelehlah hatiku. Permasalahan inti yang jauh memprihatinkan sebenarnya justru berakar dari diriku sendiri. Kau tentu paham begitu menyedihkannya tak sanggup mengungkapkan perasaan.
Belakangan ini aku banyak merenung. Tentu tidak mudah bagiku dalam kondisi yang tidak strategis ini. Sama halnya ingin berperang tanpa persiapan dan pasok energy yang cukup, hanya menyerahkan diri sia-sia. Maksudku, aku harus banyak belajar menguatkan diri, menendang rasa takut sejauh-jauhnya. Bagaimana bisa menyelam tanpa bisa berenang.
Hal pertama yang kulakukan, aku harus ikhlas mengakui bahwa aku jatuh cinta.