Matanya redup. Dilihatnya langit yang megah dan kerlap kerlip, ia tersenyum pahit. Di balik dedaunan bulan mengintip seseorang yang menjiplak dirinya tengah berbaring kehabisan daya, kemudian sesegera mungkin menyembunyikan wajah yang malu ke balik awan, juga tanpa berucap apapun. Malam semakin dingin, hujan Januari baru saja reda sore tadi. Aspal masih basah, dan baru akan kering besok siang, itu pun kalau hujan tidak turun dan matahari tidak dihalangi mendung.
Lelaki paruh baya itu, Purnama. Masa lalunya bisa dilihat dari bajunya yang koyak, robek sana-sini, lusuh. Wajahnya bundar seperti bulan purnama, itulah alasan ibunnya memberi nama Purnama, sebelum sempat melihat cahayanya. Tak lama setelah itu ibunya meninggal, dan purnama itu tak pernah bercahaya.
Debu melekat tabal, barangkali tak lama lagi akan menjadi karat di kulitnya. Rambutnya pun belum kering, jika guru di sekolah melarang setiap murid memanjangkan rambut, maka Purnama tidak pernah menjadi seorang murid, tidak pernah mencium aroma pendidikan apalagi mencicipinya, dan ia bebas melanggar larangan itu.
Lima senti lagi sampai ke pinggul, rambut yang tak ia urus, kecuali oleh alam yang menurunkan hujan. Tidak ada cahaya apapun yang mampu menembus hatinya yang kelam. Di situlah ia terasing sendiri tanpa bisa berontak kepada siapapun.
Sejak semua raib, ia seperti kapal oleng di tengah laut. Terombang-ambing, membentur karang dan akhirnya terdampar pada kenyataan yang menyedihkan.
Ketika ia masih kecil, keluarganya telah disingkirkan dari masyarakat. Tidak satu orangpun di kampungnya yang mau bergaul dengan keluarganya, semua bentuk interaksi di putus, tidak ada yang peduli sama sekali. Sebuah kebijakan yang lahir dari kesepakatan tokoh-tokoh adat menjadi pangkal penderitaan hidupnya.
Sebuah ultimatum dijatuhkan seperti bom yang menghancurkan keluarganya. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan berhubungan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun kepada pewaris ilmu hitam Mbah Indul, dukun yang waktu itu dituding telah menyebarkan malapetaka di kampungnya. Tak lain adalah nenek Purnama.
Seluruh isi kampung berang, setelah sebuah wabah penyakit menyerang penduduk kampung. Penyakit yang tidak diidentifikasi secara medis, lantaran kampungnya terlalu jauh dari jangkauan peradaban. Sehingga hukum adat menjadi penentu dari setiap masalah yang ada. Semacam malaria, tapi tidak ada satupun yang mengerti.
Malam yang memilukan. Hampir seluruh penduduk mendatangi rumahnya. Dan peristiwa itu terjadi ketika ia dalam kandungan. Kepongahan penduduk menyala dalam api yang panas. Mbah Indul diseret dan dijatuhi hukuman yang dianggap setimpal dengan perbuatannya. Tanpa diberi kesempatan membela diri dan api itu dianggap telah menghanguskan seluruh ilmu hitam bersama si empunya.
Ibunya menjerit-jerit tapi tak berdaya. Ayahnya pun juga. Keduanya kemudian diseret ke dalam hutan dan diasingkan. Malam yang memilukan. Tepat ketika purnama datang. Dan malam itulah ia lahir dalam pengasingan tanpa bidan ataupun dukun beranak. Ayahnya menggigil ketakutan sampai tangisan pertamanya memecah keheningan. Sesaat setelah itu, ibunya membeku tanpa sempat menjelaskan apapun.
“Pu..r..na…maa..”