-->

Bertemu Warsito

Bertemu Warsito

Seseorang bisa berubah kapan saja, entah karena hal-hal besar atau hal-hal kecil yang meresap dengan baik. Alasan-alasan itulah yang menjungkir-balikkan tabiat, lalu menegakkan seseorang pada suatu pendirian teguh tak tergoyahkan lagi. Dan aku tak percaya bahwa orang yang mengubah sikapku justru seseorang yang bertabiat miring. Dia adalah Warsito, yang sejak kecil sudah tercium glagat keberandalannya. Biang keladi tiap terjadi keributan, sumber keonaran, yang kemudian harus diusir dari kampung untuk menghindari malapetaka.

Karena ulahnya yang sinting waktu itu, menggoda seorang perempuan lalu mnghajar kekasihnya yang tidak terima, puluhan orang dari desa sebelah datang hampir membakar kampung kami. Ulah Warsito rupanya membakar amarah lelaki yang dihajarnya. Untung saja Warsito tidak ada di rumah, dan Mbah Parmin, guru ngajiku yang cukup dipandang itu mampu menenangkan massa yang datang. Keterlaluan Warsito itu!


Esok harinya, kabar tidak baik menyebar, Warsito ditangkap polisi. Itupun untuk kasus yang berbeda, dia telah membuat babak belur seorang MC organ tunggal yang menghentikan acara karena sudah larut malam. Kala itu, tiap hajatan, orang sering menyewa organ tunggal untuk hiburan hingga malam. Dan Warsito tidak mau organ tunggal dihentikan. Ia terpengaruh minuman keras. Sebenarnya ia cukup ditakuti karena tabiatnya yang brutal, tapi sialnya, dua orang polisi tak berseragam yang kebetulan adalah keluarga saiful hajat ada di sana dan membekuk Warsito.

Tabiat miring Warsito membawa pengaruh buruk bagi kampung kami. Ia serupa pemangsa yang tak peduli siapa mangsanya. Sejak kejadian itu, ia seperti hilang ditelan bumi. Tidak ada berita lagi. Kabar terakhir ia masuk kerangkeng besi lagi beberapa saat setelah keluar dari tempat yang sama.

Ibunya tak henti-henti menangis mendapati anak satu-satunya itu tak mengenal adat sama sekali. Dan Warsito adalah tokoh criminal, gembong kejahatan yang selalu diperbincangkan. Kepergiannya adalah ketentraman bagi kampung kami.

Warsito adalah anak dari pakdeku sendiri. Waktu itu aku masih kecil, belum begitu paham mengapa ia dibenci banyak orang. Aku memanggilnya Kang, entah mengapa ia baik denganku. Ia adalah orang yang sering menyuruhku beli rokok di warung, dan kembaliannya selalu untukku. Sebelum tabiatnya yang buruk, ia sering meminta air panas di rumahku, hanya membawa gelas yang terisi kopi dan gula. Wajahnya memang garang, tapi senyumnya menundukkanku pada rasa hormat. Sebelum pada akhirnya, rasa hormatku hangus terbakar emosi. Bapakku adalah pamannya yang cukup ia hormati, namun lantaran perkara warisan, ia pernah mengacungkan golok kepada bapakku. Sejak saat itu aku ingin tidak mengenalnya lagi.

Beban moral yang berat membuat ibunya sakit keras bertahun-tahun. Budeku itu akhirnya meninggal, rumahnya kosong tak berpenghuni.


Beberapa hari setelah ibunya meninggal, Warsito pulang. Entah sudah berapa kali ia keluar masuk bui. Rambutnya melewati bahu, mengerikan seperti surai singa. Wajahnya penuh bekas luka seperti prasasti yang menandakan riwayat kriminalitasnya. Ia mengenakan jaket levis yang warnanya memudar, yang bagian bawah jahitan jaketnya sengaja dilepas, sehingga terburai benang-benangnya. Pertanda ia tak bisa dikekang. Di lehernya penuh dengan tato, seperti hendak mengenalkan diri bahwa ia adalah seorang preman kelas kakap. Ia sangat ditakuti. Lalu ketakutan warga membuatnya tak diterima lagi di kampung kami, hari itu juga ia diusir. Sejak kejadian itu, Warsito benar-benar lenyap ditelan bumi, tak pernah ada kabar lagi.

Tiap orang memang harus berani menanggung resiko perbuatannya. Kecil atau besar, baik atau buruk, ganjarannya akan setimpal entah dalam bentuk apa akan diterima. Menurutku, pengusiran adalah hukuman yang paling berat, tidak diakui, dianggap lenyap, tak punya nilai lagi di mata masyarakat. Meskipun aku tak tahu Warsito kembali untuk berubah atau tidak. Tapi ia sudah kehilangan kesempatan untuk menunjukkan ia dapat berubah.

Lambat laun aku sudah tidak lagi memikirkannya. Hari-hariku disibukkan mencari dan mengolah data. Aku calon sarjana teknik yang tengah bergelut menaklukkan skripsi. Mahasiswa tingkat akhir yang karatan. Kawan-kawanku yang lain sudah banyak yang wisuda. Ternyata benar kata orang, keberhasilan orang lain dapat berdampak dua hal: senang dan sedih.

Aku harus mencari kerjaan sampingan untuk melunasi biaya kuliah, aku tidak bisa selalu mengandalkan orang tua, beberapa waktu yang lalu panen padi tidak maksimal. Padi yang hanya beberapa petak milik bapak diserang hama tikus. Aku ‘ngap-ngapan’ menjalani kondisi itu. Aku membantu proyek-proyek alumni dan bekerja di sebuah konsultan untuk biaya hidup. Kesibukanku membuat aku jarang ke kampus, alhasil skripsiku macet.

Kesulitan akan menunjukkan seberapa jauh batas kemampuan manusia.


Hal-hal sulit selalu melahirkan dua jenis manusia, manusia kuat yang berhasil atau manusia lemah yang gagal. Banyak bukti yang menguatkan pendapatku ini, sebut saja Soekarno. Ada dua Soekarno yang kukenal dalam hidup, dua orang ini cukup mewakili dua hal tadi. Soekarno yang pertama adalah presiden pertama republik ini, siapa yang tak tahu perjuangannya menghadapi kesulitan hingga pada akhirnya menjadi pemimpin bangsa. Sedangkan Soekarno kedua tak lain adalah pasien rumah sakit jiwa dari desa tetangga yang gagal menjadi anggota dewan.

Kesulitan ibarat soal ujian waktu aku SMA, siapa yang menyiapkan dengan baik akan lulus dengan baik, siapa yang berleha-leha akan hancur lebur, paling banter akan lulus pas-pasan. Secara teori seperti itu, tapi tentu saja ujian hidup tidak hanya soal ujian. Bagi orang hebat, ia akan berhasil dari bidang yang lain yang kadang sulit diduga. Tapi entah mengapa aku harus mengatakan ini, factor keberuntungan. Keberuntungan dapat mengantarkan seseorang pada keberhasilan. Jujur aku sering iri karena hal ini. Nilaiku cukup baik, tapi ada beberapa temanku yang nilai ujiannya di bawahku, nyatanya dapat masuk ke universitas papan atas, sementara aku pernah gagal. Keberhasilan dapat dicapai karena keberuntungan dan kerja keras, ibarat kue yang sama-sama lezat, yang satu adalah pemberian tetangga, sedangkan yang satunya lagi adalah buatan sendiri.

Pernah kutampar pendapatku yang picik itu. Toh, Tuhan Maha Bijak. Aku menduga tak pandai menangkap hikmah kala itu, tapi tak kunjung pandai menyimpulkan apakah aku bisa melewati kesulitan semacam itu.

Siang makin garang, semua menguap. Akan lebih baik jika tidak berkeliaran di jalanan. Sialnya, aku harus mengantar berkas ke Dinas. Lebih sialnya lagi, di siang yang terik itu, tak kuduga, tak terprediksi, banku bocor. Alamat buruk.


Kesialan orang memang tidak bisa ditebak, datang begitu saja.

Dan siang itu pula, aku mencintai kesialan itu. Tahukah Kawan, mengapa Warsito menjadi orang penting dalam hidupku? Setelah bertahun-tahun aku tidak bertemu bahkan tidak terpikir lagi tentangnya, nyatanya ia begitu dekat, tidak jauh dari kosanku.

Dia membuka bengkel melanjutkan pengalamannya mengenyam pendidikan di STM, tiga tahun kurang. Ia harus di DO setelah riwayat kriminalitasnya sudah melewati batas. Dan aku bertemu dengannya. Bertemu dengannya seperti mimpi yang langsung tercetak lewat printer, nyata. Aku kehilangan banyak kata. Senyumnya membuatku kaku. Aku tak tahu apa yang kulakukan, tapi sangat jelas, ia membantuku.

Ternyata, kesialan adalah topeng dari peristiwa yang indah tak selalu buruk.

Aku mendapat pelajaran berharga siang itu, bahwa kebaikan bisa lahir dari siapapun. Dan setiap orang memiliki kesempatan untuk berubah bahkan bisa jauh lebih baik dari yang disangka. Sedangkan orang baik pun masih bisa tergelincir. Itulah mengapa manusia diajarkan untuk saling mengingatkan, karena manusia bisa lupa kapan saja, bukan menyalahkan tapi membenarkan yang salah, karena menyalahkan adalah sebuah kesalahan.

Share this:

Disqus Comments