-->

Gadis Matahari

Gadis Matahari

Percayakah Kawan, bahwa senyum mengandung mantra pengusir duka. Sihir paling ampuh dan mengesankan. Keajaiban paling anggun yang seakan membebaskan batin dari belenggu sepi, namun sebenarnya menyekap tanpa disadari. Tak akan bisa lepas dan tak akan mau pergi darinya. Maka tak heran jika lelaki semacam aku akan mengalami krisis kata-kata, meleleh dan menguap tak bersisa, tak lain karena senyuman.


Aku gagal berbohong, takluk! Tapi tak bisa pula berucap apa-apa. Senyuman itu bak musim semi yang datang sebelum masanya, di mana berupa kuntum bunga merekah, memancarkan daya hidup bagi kemalangan nasib yang sempat kukerdilkan. Dalam keadaan seperti itu, aku bisa apa? Haruskah aku meminjam kata-kata, lalu kepada siapa aku meminjamnya. Aku kehabisan sehabis-habisnya. Atau mungkin bisa kusampaikan dengan cara lain, lalu cara apa yang terbaik yang kumiliki? Aku ingin jujur namun lidahku kelu, dan huruf-huruf yang kuhapal beku satu persatu. Sementara, dalam batinku telah meletup-letup, entah apa itu.

Tetiba aku ketakutan, jiwaku menggigil. Sekawanan gelisah meremas kewarasanku. Ketakutan yang aneh dan absurd. Logikaku melemah, egoku lumpuh, tapi masih saja bisu. Belum juga sanggup mendapati penafsirannya.

Senyuman yang kumaksud lahir laksana matahari terbit di fajar yang begitu mesra. Menggoda dan penuh pesona. Jujur, senyuman itu membuatku remuk, tapi dibentuk. Ya, dalam bentuk lain yang tak disangka-sangka. Ibaratkan rumah tua, aku serasa dipugar, dan layak untuk ditempati.

Kusebut dirinya, Gadis Matahari. Tak tahu dari mana kudapati diksi itu, tapi telah lama aku menggenggamnya. Jauh sebelum pertama kali kulihat senyumnya mekar. Tidak sedikit waktu untuk menemukannya. Aku mesti tahan menghadapi bengisnya sepi, bertahun-tahun. Diterkam hipotermia oleh dinginnya kesendirian. Terpelanting lantaran cemburu dan dihempas beraneka bentuk kecewa yang menimbulkan ngilu.

Maka, ketakutanku kali ini berasal dari kemungkinan nasib yang bisa saja tidak berpihak. Nasib memang berpreogratif untuk menjatuhkanku pada keinginannya. Tentu saja aku tidak bisa apa-apa, namun kini sudah mulai ketakutan. Jika saja nanti perempuan itu—yang kusebut-sebut memiliki senyum penuh pesona—tidak lagi tersenyum, aku tidak paham lagi musim apa yang akan terjadi. Itulah ketakutanku saat ini.


Helfina, dialah gadis matahari. Perempuan yang berhasil melemparku dari tahun-tahun kegelisahan. Dan nasib menjatuhkanku di depan senyumannya, aku tak berkutik menghadapi nasib semewah ini.

Kurapal doa, kubentengi hegemoni berpikirku. Kutegakkan kesadaran yang menipis. Kulakukan semua hanya untuk menyangkal hipotesisku. Nyatanya itu sia-sia, hatiku telah ambruk, jatuh. Tinggal menunggu kedermawanannya, atau aku akan mendapati kemalangan hidup yang mengerikan.

Terlepas dari perasaanku yang amburadul, aku merasa sangat beruntung. Entah logika macam apa yang ia anut, hingga seberuntung ini aku mendapati senyumannya. Di sisi lain aku justru ragu, apakah aku di balik alasan atas senyumannya? Atau dia memang telah berbakat sejak kecil dan mewarisi senyuman semanis itu? Akalku meriang untuk menjelaskannya.

Poin sederhana yang bisa kutangkap adalah: senyumannya tak bisa ditandingi. Ya, tak bisa ditakar melalui bilangan.

Sesekali aku bertanya pada langit yang sendu, siapakah aku? Seberani ini berekspektasi, berpikir semena-mena tentang perasaan. Merasa paling unggul dan menguasai peperangan, padahal, aku hanya huruf yang tak cukup untuk disebut kata. Tersingkir dari keramahan realita, seringkali terpelanting dan hampir membusuk lantaran lemahnya asa. Saat anganku berkembang biak melebihi kemampuan amoeba, jiwaku seolah melayang sedang tubuhku tertinggal di petak kemuraman.


Sempat aku merasa asing dengan diriku sendiri. Lalu ketakutan dari semua penjuru menyerbu. Aku pernah ditikam habis-habisan oleh kecemasan.

Tidaklah berlebihan jika kukatakan sehebat itu energi dari senyumannya. Anggun, megah, penuh metafora, yang akhirnya menyadarkanku betapa tak bernilai aku ini.

Aku tengah mengumpulkan keberanianku. Memupuk kepercayaan diri, dan meyakinkan bahwa keraguan adalah huruf yang mudah dihapus dari kalimat.

Meski rasanya butuh waktu sampai ketakutan itu menyusut dan perasaan ini benar-benar dewasa. Aku ingin ia merdeka sebagaimana aku ingin merdeka. Setidaknya, setelah kamar dan hatiku berhasil dirapikan hingga layak dihuni.

Berdiri di atas episentrum berarti siap untuk diguncang. Sebesar apapun guncangan itu akan terjadi dan merubah diriku menjadi sesuatu yang baru, lemah atau justru makin kuat untuk hidup. Yang jelas, aku menemukan perempuan itu, yang senyumnya mengalahkan romantisnya matahari terbit.

Share this:

Disqus Comments