-->

Konon, Antara Lelaki dan Perempuan Menganut Cara Berpikir yang Berbeda

Konon, Antara Lelaki dan Perempuan Menganut Cara Berpikir yang Berbeda

Perbaikan hidup pada orang-orang di sekelilingku menjadi tamparan keras bagiku. Mengapa tiba-tiba ada perasaan iri, kesakitan yang amat perih. Seakan nasihat yang terselip merupakan bom bagiku, yang mesti sesegera mungkin kuledakkan hingga semua keburukanku hancur, tersisa penyesalan yang telah dirancang sebagai pelontar untukku meluncur.

Konon, Antara Lelaki dan Perempuan Menganut Cara Berpikir yang Berbeda
Aku masih sibuk bertanya-tanya, sementara dia telah berhasil hijrah. Lalu, akan menjadi apa aku di dekatnya? Haruskah aku mengharap kemaklumannya, sedangkan berharap pada manusia katanya selalu berpotensi penyesalan.

Ada kemelut dalam batin. Apakah penikmat kopi sepertiku sedang jatuh hati? Aku selalu ragu dengan perasaanku sendiri, murnikah atau cuma emosi sesaat? Aku pernah mencoba membanting keraguanku, yang kudapati justru ketakutanku dan beberapa puing-puing cemas.

Bukankah setiap manusia telah mendapat perannya masing-masing? Mendapat bagian dari skenario agung yang mesti dipatuhi? Harus tunduk pada ketentuan dan tak bisa lari dari alur. Aku membayangkan akan menjadi apa aku di dekatnya. Menjadi bunga yang layu kehabisan musim, jadi debu yang terpental oleh takdir, atau menjadi kekasihnya yang tak dikenali.

Aku tak ingin banyak berharap karena aku tak berwenang sedikitpun perihal kepastian. Aku hanya lelaki yang ‘manut’ pada kehendak. Tapi jujur perasaan ini membuatku ketakutan.
Tuhan
Pada-Mu saja aku berharap
Dari ketakutan dan sepi yang pengap
Dari keinginan dan rindu yang menyekap
Bisakah semua itu lenyap?
Dengan dia sebagai obat yang mujarab.
Tuhan
Kau tahu sebesar apa kesanggupanku
Maka sanggupkanlah aku
Aku lelaki yang redup
Kau pula yang bikin hidup
Jika kau ijinkan, dekatkan
Kau Maha Pemurah, maka permudahlah
Tuhan
Pada-Mu saja aku berharap
Jika Kau berkata tidak
Kaulah yang Maha Berkehendak
Bagiku, perempuan adalah metafora paling indah, menyimpan banyak kejutan, megah, fantastic, dan penuh teka-teki yang sulit ditebak. Kadang nyaliku menciut, seumpama kerupuk yang melempem di kuah soto.

Belakangan ini pikiranku melompat jauh ke waktu yang belum kutempuh. Tapi serasa ada euforia yang berkembang pesat, dan kuduga bermigrasi dari sini, tempat di mana aku tersudut, didesak, tapi tak bisa menjawab apapun. Senyumnya telah menawarkan semua itu. Aku masih tertegun. Akan menjadi apa aku di dekatnya?

Konon, antara lelaki dan perempuan menganut cara berpikir yang berbeda. Perempuan cenderung mengedepankan perasaan, sedang lelaki sangat dipengaruhi oleh logika. Barangkali itu yang membuatku kaku. Perasaan perempuan halusnya melebihi sutera, maka kekuatan yang dimiliki tidak akan terlihat kuat, namun sejatinya menaklukkan.

Logika mengarahkan lelaki berpikir sistematis, kaku, terukur dan nyata. Pikirannya tidak hanya menampung tentang hidupnya sendiri dalam waktu yang pendek. Meskipun kaku, namun elastis, melentur, menempuh jarak yang jauh yang kerap melebihi batas. Tidak lain karena tidak ingin mengecewakan. Dengan bahasa yang sederhana, lelaki harus memikirkan kehidupan yang baik bagi orang-orang yang dikasihi.

Jika lelaki diam, ia sedang berpikir tentang strategi. Hidup bukan untuk memperjudikan nasib. Jika boleh dianalogikan, lelaki adalah angka dan perempuan adalah huruf. Hal itulah yang membuatku merasa bodoh.

Janji bukanlah hadiah terbaik melainkan benih kekecewaan. Aku takut ia kecewa, takut jika akulah penyebabnya. Maka aku tidak sanggup berjanji secuil pun.

Mungkin kami mengidap trauma yang sama, pernah merasa kecewa atau setidaknya terkungkung kesepian. Ah, manusia harus mencintai nasibnya masing-masing, kan? Hidup selalu menyimpan rapi rahasianya. Pada waktunya, apa yang pernah dipertanyakan akan terjawab, atau tidak sama sekali. Tapi hidup tidak selalu terpaku pada jawaban apapun. Jawaban hanya menghentikan pertanyaan, apalah artinya hidup tanpa pertanyaan? Angkuh!

Sejauh ini aku belum bisa berkata-berkata. Biar saja air mengalir, toh nanti ke muara juga. Dan muara yang kuinginkan termuat dalam doaku, mungkin juga doanya.

Kawan, gadis yang pernah kuceritakan kini makin berkelas. Aku tidak bisa pura-pura bahwa ia memang anggun. Hijab yang kini dikenakannya ialah benteng yang kuat. Aku percaya itu. Semacam identitas bagi kaum yang penuh kasih sayang.

Mungkinkah aku sudah jatuh hati? Jika aku jatuh hati, bagaimana dengan nasib ‘ketakutanku’? bisakah ketakutan itu ludes hanya dengan senyumannya? Andaipun bisa, apa benar senyuman itu gerbang bagiku?

Jujur, senyumnya membuatku pertama kali merasa menjadi lelaki. Namun, lagi-lagi, lelaki macam apa yang ia inginkan? Seperti akukah? Apa aku hanya tempat sembunyi dari ketakutannya?

Pikiranku makin kacau. Di sisi lain, lelaki harus mampu menanggung masa depan. Sedang aku, baru saja belajar hidup. Sanggupkah ia bertahan sampai aku bisa berdiri tegak? Sanggupkah ia menghadapi kenyataan ketika aku benar-benar jatuh hati?

Share this:

Disqus Comments