-->

Jadilah Rumahku, Aku Ingin Pulang

Jadilah Rumahku, Aku Ingin Pulang

Aku percaya, setiap orang diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Maka kebuntuan hanya akan terjadi pada orang-orang yang menutup diri dan mengutuki nasibnya. Berpikiran sempit semacam itu tentu menindas batin, dan menelantarkan cita-cita. Sungguh kerugian yang besar, betapa tidak, begitu banyak jalan yang bisa ditempuh tanpa harus mengeluh. Masalahnya, apakah kita mau menjalaninya?

Dunia ini tak selebar daun kelor. Di tiap jengkal tanahnya menyimpan berbagai kemungkinan, ketidakterdugaan, iming-iming, dan keping-keping mimpi.

Ada pesan yang sering terabaikan, bahwasanya kebuntuan adalah sebuah pertanda yang mengajak kita untuk berpindah. Ya, berpindah dari kebekuan, berpindah dari tempat yang semakin lama akan membuat gairah hidup makin berkarat. Berpindah tak lain untuk menemukan diri sendiri.

Aku bersyukur lantaran cukup memahami pesan-pesan itu. Alangkah mengerikan mendekam terlalu lama di kampung halaman. Jalan satu-satunya yakni melakukan perjalanan. Dan aku mulai menulis sejarahku.

Dumai, kota pertama bagi perjalananku. Jauh dari kampung halaman. Asing, namun berhasil meyakinkanku bahwa manusia memang harus berpindah.

Aku masih ingat, 17 Agustus waktu itu. Bendera berkibar-kibar tidak hanya untuk memperingati lahirnya republik, namun rasanya ikut merayakan kebebasanku dari kebosanan. Seluruh penjuru kampung bersolek, merias diri. Berbagai ornamen disuguhkan sepanjang jalan, semua warga bergairah memadati tempat-tempat perlombaan. Anak-anak sekolah sudah rapi menuju lapangan upacara untuk khidmat menyelami sejarah. Terlihat wajah-wajah lugu yang ceria menyambut masa depan. Ternyata, merayakan kemerdekaan itu menyenangkan. Dan berpindah adalah kemerdekaanku.
Aku harus ke Dumai hari itu. Sebuah perusahaan—tempat di mana aku sekarang bekerja—menawariku pekerjaan. Ada sebuah proyek pembangunan pabrik olahan sawit, dan aku diajak bergabung sebagai engineer.

Sebelumnya, aku baru saja berhenti dari kantor yang lama, dan ditawari kerja di kantor lain di Lampung. Namun, perpindahan yang besar selalu menggiurkan bagiku. Jika saja aku tidak sakit setelah keluar dari kantor yang lama, rasanya aku tidak akan ke Dumai. Karena setelah keluar, aku harus masuk ke kantor yang baru.

Aku paham, jalan untuk berpindah telah dibuka.

Di tempat yang baru, aku bertemu bermacam karakter. Aku berusaha menyalami perbedaan yang ada, menyelami kepribadian sebisa mungkin. Orang-orang baru selalu mengesankan bagiku. Mereka memiliki cuilan-cuilan penting yang selalu kucari. Hal-hal unik yang perlu kutampung untuk sekadar bisa menjawab, siapakah aku?

Berpindah itu asyik! Perlahan jiwaku yang sempit mulai meluas, mulai mengerti bahwa aku masih terlalu kerdil untuk menampung mimpi-mimpi. Kesadaran semacam itu sangat penting untuk mendesain masa depan. Orang yang merasa dirinya hebat hanya akan memperkuat kecongkakkan. Congkak itu menggerus kewarasan.

Kesempatan yang tak boleh disia-sia. Aku harus menghimpun kekuatan, berguru kepada siapapun. Belajar tentang hidup dan kehidupan.

Enam bulan aku bekerja di Dumai. Aku tahu, setiap orang yang kutemui menyumbang makna bagi hidupku, setidaknya huruf-huruf yang bisa kurangkai. Dan salah satu orang itu adalah Helfina. Dia gadis yang anggun, memberiku tenaga dan menyumbangkan senyumnya yang manis. Dermawan sekali, rasanya aku tak sanggup membalasnya. Apakah benar, setiap perpindahan menghadiahi perasaan bahagia seperti itu? Lalu, akankah aku berpindah lagi? Sementara aku belum menemukan diriku.

Pandanganku membentur plafon, aku berbaring dan menanyakan semua hal yang belum kupahami. Aku tahu, di luar bulan sedang berpuisi, malam menjadi khidmat dan angin membelai kulit ari. Aku tidak bisa bergerak lantaran semua pertanyaan itu memadati pikiranku. Lalu, nama gadis itu muncul lagi, pikiranku buyar tiba-tiba tapi masih dilempari pertanyaan dari jauh.

Baiklah, perjalanan hidup memang penuh dengan pertempuran batin. Bagi sebagian orang akan merasa merdeka, tapi bagi sebagian yang lain harus gigih untuk bertahan. Dan aku? Harus menjawab siapa diriku. Betapa menyedihkan hidup tanpa mengetahui jati diri. Lantas apa sebenarnya yang kusebut kemerdekaan? Nyatanya ada beberapa kemerdekaan yang belum kudapati.

Selain memberi hadiah yang indah, rupanya berpindah pun merimbunkan rindu. Mulai terbayang wajah-wajah yang kukasihi, ibuku yang amat sabar, bapakku yang tangguh, kakak-kakakku yang memiliki kemampuan verbal tingkat tinggi, adik-adikku yang manja, atau keponakan yang mulai tumbuh kembang. Aku mulai merindukan tiap inchi rumahku, tiap sudut yang merekam kenangan masa kecil. Tiba-tiba rindu bisa merubah arti kemerdekaan, merubah tujuan akhir dari sebuah perjalanan.

Pulang ke kampung halaman adalah tujuan bagi perantau yang berusaha gagah melintasi ketakutannya, menyebrangi kebuntuan dan mencari-cari jawaban.

Meski pada waktunya, setiap orang harus bijak dalam bersikap. Setiap insan memiliki ruang tersendiri yang teramat spesial, di mana jawaban dengan sendirinya mengaku, dan pertanyaan berhenti bertanya. Manusia tak akan berhenti mencari sebelum cintanya ditemukan.

Jadilah Rumahku, Aku Ingin Pulang
Lokasi: Pantai Rupat, Riau

Menjelang cuti, nama gadis itu muncul seperti iklan baris, tak henti-henti. Pikiranku terbelah, antara kampung halaman dan segaris senyuman. Akankah suatu saat rinduku berpindah padanya? Aku tak tahu, nyatanya aku sudah rindu padanya bahkan sebelum berkemas pulang.

Share this:

Disqus Comments