Semasa kecil, aku bisa dibilang sebagai anak yang penurut, tidak rewel. Aku bisa menerima keadaan tanpa banyak menuntut pada kedua orang tua. Maka jika anak-anak sebayaku kerap kali merengek minta dibelikan mainan, hal itu tidak terjadi denganku. Aku bisa menahannya, meski aku paham menahan keinginan semacam itu sangatlah berat.
Aku tidak tega membebani orang tuaku begitu berat. Kantong petani kecil seperti bapakku pastilah sangat mudah diprediksi. Panen dua kali setahun tidak bisa mencukupi keinginanku, apalagi sawah yang digarap bukanlah milik bapakku. Tentu saja aku akan sangat tidak tahu diri jika membebani dengan berbagai keinginan.
Berangkat dari keterbatasan, keinginan yang aku jaga sekuat mungkin adalah tetap melanjutkan sekolah. Aku harus bisa melerai batinku dan menjinakkan sikap manja. Perjalanan masih sangat panjang karena manusia harus selalu mengubah nasibnya.
Bapakku hanya bisa menyelesaikan pendidikan sampai kelas 5 SD, selanjutnya ia belajar banyak tentang kehidupan yang keras dari petak-petak sawah yang digarapnya. Aku tahu bapakku adalah sosok yang tangguh, pandai bergaul dan bisa dipercaya. Buktinya, sampai saat ini ia masih dipercaya untuk menggarap sawah milik Almarhum Wak Haji, yang sekarang sudah diwariskan kepada anak cucunya. Rejeki bisa berupa apa saja, kepercayaan orang lain merupakan salah satu bentuk rejeki yang patut disyukuri. Tak bisa dipungkiri, hasil bertani tidak cukup untuk membiayai sekolahku.
Ibuku menikah muda sebelum sempat tamat SMP waktu itu. Cita-citanya menjadi guru lepas dari tangannya. Cinta serupa arus deras yang sanggup menyeret seseorang dari jalurnya. Tapi di sisi lain, jatuh cinta itu indah.
Kakakku yang pertama hanya berijasah SMA, kemudia ia bekerja, sedangkan kakakku yang kedua memutuskan tidak melanjutkan ke SMA. Ini bukan keputusan yang mudah, namun merupakan jalan terbaik saat itu. Terkadang kita tidak bisa memaksakan kehendak, tapi tak bijak juga untuk menyalahkan keadaan.
Aku anak lelaki pertama yang lahir. Prestasiku di sekolah menjadi semacam kode yang dapat diretas. Setiap orang pasti memiliki harapan yang kadang terpendam, aku harapan yang terpendam itu. Kedua orang tuaku berusaha keras membongkar harapan yang terpendam itu, menguatkan diri untuk menghadapai berbagai tantangan yang pasti muncul dalam perjalananku. Aku tak sanggup mengkalkulasi perjuangan mereka!
Jika tidak memiliki energi dan jiwa yang kuat, orang-orang yang jauh dari pendidikan akan lebih sulit untuk menaklukkan hidup. Kedua orang tuaku bisa menangkap nasihat itu dengan baik. Kegagalan masa lalu menjadi catatan yang berharga. Sejarah harus diubah, hidup harus diperbaiki. Entah bagaimana caranya mereka bisa mengantarku sampai sarjana.
Adikku yang perempuan gagal dalam seleksi masuk perguruan tinggi. Ia memilih untuk sekolah di staf penerbangan. Semua berjalan begitu saja, semua orang memang punya kesempatan dan garis nasib masing-masing. Namun terkadang aku sedih karena di keluargaku baru aku saja yang menyandang sarjana. Gelar itu menjadi makin berat lantaran perjuangan yang ada di baliknya. Aku mesti bisa bertanggung jawab atas kesempatan besar yang diberikan.
Tinggal satu lagi adikku yang bentar lagi lulus SMA. Aku harus bisa mengawal perjalanannya yang masih sangat panjang. Pendidikan begitu sangat penting di mataku, meski aku belum menjadi apa-apa.
Masa depan manusia bisa diukur dari seberapa besar keberaniannya mengambil keputusan-keputusan sulit. Dan kedua kakakku adalah orang bijak yang pernah kukenal. Dari mereka aku belajar cara menjinakkan ego. Walau tanpa bahasa verbal, namun aku bisa paham bahwa mereka telah melimpahkan sebuah kesempatan untukku maju. Dengan kesempatan yang kumiliki aku harus bisa menjadi pembuka jalan. Keluarkagu telah berkorban begitu banyak.
Kesempatan menuntut ilmu merupakan warisan berharga untukku. Setelah itu, aku telah berucap tidak mengharap warisan apa-apa. Sudah lebih dari cukup untuk menjalani hidup. Namun tahukah, orang tuaku sedang menyiapkan sebuah gubuk untukku.
Bagaimanapun mimpi yang mengembang tidak boleh sia-sia. Harus ada balasan setimpal di setiap gram pengorbanan yang kuterima. Entah sanggup atau tidak, dan dengan cara apa itu bisa kulakukan, akan kutempuh sekuatku!
Kalau waktunya tiba, akan ada seseorang mendampingiku, ia harus bisa melihatku secara utuh. Aku dibentuk dari latar belakang yang sederhana, di lingkungan yang penuh batasan. Namun di sana kepribadianku ditempa, meski tetap sesederhana ini.
Aku sedang menziarahi kenangan, bertamu ke ruang-ruang memori masa kecil. Lalu, yang hinggap dibenakku adalah parasnya yang ayu. Andai saja ia sudi untuk ikut, akan kuajak berlari-berlari menjelajahi masa kecilku yang terlalu biasa. Siapa tahu ia bisa membantuku melihat dari sisi yang tepat untuk menerjemahkannya.
Senyumnya mengajariku tentang sense of belonging, lalu pertanyaannya, cukupkah aku untuk menampung perasaan itu?
Terlepas dari siapa aku ini. Aku percaya dia adalah energi bagiku. Laksana sinar alpha, aku adalah uranium yang ia pancari, lalu membelah bertubi-tubi menghasilkan kekuatan yang berlipat ganda. Aku mulai berada di fase paling kritis, saat pengambilan keputusan tersulit. Bukan tentang egoku, tapi tentang perasaannya yang mesti dijaga. Aku bukan Hang Tuah, bukan Marcopolo, bukan pula Vasco da Gama yang hebat di lautan, tangguh menahkodai kapal, sama sekali bukan. Hanya seorang lelaki sederhana tanpa kapal besar yang bisa karam kapanpun. Sanggupkah ia menerima kenyataan semacam itu? Bisakah ia memaklumi identitas yang melekat padaku?
Ingin kukepalkan tangan dan menghajar ketakutanku sendiri. Berani dan tangguh!
Kedewasaan seseorang lahir dari rahim masalahnya. Semakin besar masalah yang berhasil digempur maka akan semakin dewasa seseorang. Aku ingin kekasihku memahami seperti inilah aku.
Untuk melihat masa lalu kita bisa belajar dari pengendara sepeda motor, tak perlu menengok ke belakang, cukup melihatnya lewat kaca spion, sekilas saja. Lantaran masa depan jauh lebih penting untuk diperhatikan.
Berbicara perihal masa depan, wajah perempuan itu muncul lagi.
Aku tidak tega membebani orang tuaku begitu berat. Kantong petani kecil seperti bapakku pastilah sangat mudah diprediksi. Panen dua kali setahun tidak bisa mencukupi keinginanku, apalagi sawah yang digarap bukanlah milik bapakku. Tentu saja aku akan sangat tidak tahu diri jika membebani dengan berbagai keinginan.
Berangkat dari keterbatasan, keinginan yang aku jaga sekuat mungkin adalah tetap melanjutkan sekolah. Aku harus bisa melerai batinku dan menjinakkan sikap manja. Perjalanan masih sangat panjang karena manusia harus selalu mengubah nasibnya.
Bapakku hanya bisa menyelesaikan pendidikan sampai kelas 5 SD, selanjutnya ia belajar banyak tentang kehidupan yang keras dari petak-petak sawah yang digarapnya. Aku tahu bapakku adalah sosok yang tangguh, pandai bergaul dan bisa dipercaya. Buktinya, sampai saat ini ia masih dipercaya untuk menggarap sawah milik Almarhum Wak Haji, yang sekarang sudah diwariskan kepada anak cucunya. Rejeki bisa berupa apa saja, kepercayaan orang lain merupakan salah satu bentuk rejeki yang patut disyukuri. Tak bisa dipungkiri, hasil bertani tidak cukup untuk membiayai sekolahku.
Ibuku menikah muda sebelum sempat tamat SMP waktu itu. Cita-citanya menjadi guru lepas dari tangannya. Cinta serupa arus deras yang sanggup menyeret seseorang dari jalurnya. Tapi di sisi lain, jatuh cinta itu indah.
“Iya, Nak. Jatuh cinta itu indah. Jauh lebih indah dari keinginan lain yang sangat ingin kau miliki. Maka sebelum jatuh cinta, belajarlah untuk ikhlas, karena pasti ada yang harus kau korbankan.”Jarum jam terus melompat, keresahan yang ada kini berbentuk masa depan anak-anaknya.
Kakakku yang pertama hanya berijasah SMA, kemudia ia bekerja, sedangkan kakakku yang kedua memutuskan tidak melanjutkan ke SMA. Ini bukan keputusan yang mudah, namun merupakan jalan terbaik saat itu. Terkadang kita tidak bisa memaksakan kehendak, tapi tak bijak juga untuk menyalahkan keadaan.
Aku anak lelaki pertama yang lahir. Prestasiku di sekolah menjadi semacam kode yang dapat diretas. Setiap orang pasti memiliki harapan yang kadang terpendam, aku harapan yang terpendam itu. Kedua orang tuaku berusaha keras membongkar harapan yang terpendam itu, menguatkan diri untuk menghadapai berbagai tantangan yang pasti muncul dalam perjalananku. Aku tak sanggup mengkalkulasi perjuangan mereka!
Jika tidak memiliki energi dan jiwa yang kuat, orang-orang yang jauh dari pendidikan akan lebih sulit untuk menaklukkan hidup. Kedua orang tuaku bisa menangkap nasihat itu dengan baik. Kegagalan masa lalu menjadi catatan yang berharga. Sejarah harus diubah, hidup harus diperbaiki. Entah bagaimana caranya mereka bisa mengantarku sampai sarjana.
Adikku yang perempuan gagal dalam seleksi masuk perguruan tinggi. Ia memilih untuk sekolah di staf penerbangan. Semua berjalan begitu saja, semua orang memang punya kesempatan dan garis nasib masing-masing. Namun terkadang aku sedih karena di keluargaku baru aku saja yang menyandang sarjana. Gelar itu menjadi makin berat lantaran perjuangan yang ada di baliknya. Aku mesti bisa bertanggung jawab atas kesempatan besar yang diberikan.
Tinggal satu lagi adikku yang bentar lagi lulus SMA. Aku harus bisa mengawal perjalanannya yang masih sangat panjang. Pendidikan begitu sangat penting di mataku, meski aku belum menjadi apa-apa.
Masa depan manusia bisa diukur dari seberapa besar keberaniannya mengambil keputusan-keputusan sulit. Dan kedua kakakku adalah orang bijak yang pernah kukenal. Dari mereka aku belajar cara menjinakkan ego. Walau tanpa bahasa verbal, namun aku bisa paham bahwa mereka telah melimpahkan sebuah kesempatan untukku maju. Dengan kesempatan yang kumiliki aku harus bisa menjadi pembuka jalan. Keluarkagu telah berkorban begitu banyak.
Kesempatan menuntut ilmu merupakan warisan berharga untukku. Setelah itu, aku telah berucap tidak mengharap warisan apa-apa. Sudah lebih dari cukup untuk menjalani hidup. Namun tahukah, orang tuaku sedang menyiapkan sebuah gubuk untukku.
“Suatu saat kamu bisa tinggal di sini, Nak. Kapanpun. Kalaupun kamu ingin tinggal di tempat lain tak masalah.”Kalimatku rupanya tidak bisa mengukur batas kasih sayang mereka. Tapi aku telah memutuskan untuk membangun semua dari jerih payahku. Kesedihanku meletus di seperempat abad lebih yang belum becus berbuat apa-apa. Menjadi dewasa tak semudah dugaanku. Kompleks, rumit dan dilematis.
Bagaimanapun mimpi yang mengembang tidak boleh sia-sia. Harus ada balasan setimpal di setiap gram pengorbanan yang kuterima. Entah sanggup atau tidak, dan dengan cara apa itu bisa kulakukan, akan kutempuh sekuatku!
Kalau waktunya tiba, akan ada seseorang mendampingiku, ia harus bisa melihatku secara utuh. Aku dibentuk dari latar belakang yang sederhana, di lingkungan yang penuh batasan. Namun di sana kepribadianku ditempa, meski tetap sesederhana ini.
Aku sedang menziarahi kenangan, bertamu ke ruang-ruang memori masa kecil. Lalu, yang hinggap dibenakku adalah parasnya yang ayu. Andai saja ia sudi untuk ikut, akan kuajak berlari-berlari menjelajahi masa kecilku yang terlalu biasa. Siapa tahu ia bisa membantuku melihat dari sisi yang tepat untuk menerjemahkannya.
Senyumnya mengajariku tentang sense of belonging, lalu pertanyaannya, cukupkah aku untuk menampung perasaan itu?
Terlepas dari siapa aku ini. Aku percaya dia adalah energi bagiku. Laksana sinar alpha, aku adalah uranium yang ia pancari, lalu membelah bertubi-tubi menghasilkan kekuatan yang berlipat ganda. Aku mulai berada di fase paling kritis, saat pengambilan keputusan tersulit. Bukan tentang egoku, tapi tentang perasaannya yang mesti dijaga. Aku bukan Hang Tuah, bukan Marcopolo, bukan pula Vasco da Gama yang hebat di lautan, tangguh menahkodai kapal, sama sekali bukan. Hanya seorang lelaki sederhana tanpa kapal besar yang bisa karam kapanpun. Sanggupkah ia menerima kenyataan semacam itu? Bisakah ia memaklumi identitas yang melekat padaku?
Ingin kukepalkan tangan dan menghajar ketakutanku sendiri. Berani dan tangguh!
Kedewasaan seseorang lahir dari rahim masalahnya. Semakin besar masalah yang berhasil digempur maka akan semakin dewasa seseorang. Aku ingin kekasihku memahami seperti inilah aku.
Untuk melihat masa lalu kita bisa belajar dari pengendara sepeda motor, tak perlu menengok ke belakang, cukup melihatnya lewat kaca spion, sekilas saja. Lantaran masa depan jauh lebih penting untuk diperhatikan.
Berbicara perihal masa depan, wajah perempuan itu muncul lagi.
Oh, Helfina, Engkaukah harta karun dalam peta takdirku? Lalu, bolehkah aku menjadi bajak laut? Oh tidak, Kau lebih dari sekedar harta karun, tapi dengan kalimat apa aku bisa menerjemahkan? Kalau aku buta membaca arah., sudikah menjadi navigatorku? Tidak banyak yang perlu kita dicari. Kecuali perjalanan itu sendiri.
![]() |
Perjalanan dari Pulau Rupat, Riau |