Hati manusia memang tidak bisa terabaikan untuk terlalu lama sendiri. Rentan dan ringkih! Karena sendiri merupakan ketidakseimbangan yang beresiko. Seseorang bisa saja merasa tak berarti, tidak ada guna, cenderung menjadi pendendam pada apa yang membuatnya terasing: dengan mengasingkan diri.
Kekosongan itu ibarat adegan tanpa teks skenario yang hanya bisa dipahami sendiri dan menolak segala dialektika. Sesuatu yang bisa begitu rumit dan mengerikan.
Pada sisi yang lain, ada gelak tawa yang canggung dan sekadarnya. Sebab ada sisi yang jauh lebih gelap tak sanggup ditembus. Di sana yang hati muram meringkuk dan mengumpat deritanya sendiri. Ya, hidup yang semestinya dicintai.
Tapi siapa yang sanggup untuk tetap bertahan dalam tahun-tahun penuh sepi?
Ah, dunia ini memang banyak sekali ruang, ada yang terang, ada pula yang gelap, dan banyak ruang lain yang justru kadang kita sendiri yang mengisi, ya sendirian.
Lalu, apakah semua akan selelsai hanya dengan mengutuki nasib?
Jika tetap seperti itu, kita akan selesai seperti itu juga. Bukankah dunia ini menawarkan banyak hal? Bukankah dengan menutup diri artinya bertahan dalam kekosongan? Dan bukankah kekosongan hati adalah derita yang tak terperi?
Maka, setidaknya, untuk diri sendiri. Kita merayap menuju pintu. Dan menjadikan harapan yang tersisa sebagai kunci pembuka pintu perubahan itu.
Keluarlah dari kekosongan bagi pribadi yang makin melemah. Menjadilah kuat, kita tidak bisa menerka akan banyak hal tak terduga di luar ketakutan yang ada.
Carilah ruang lain yang dapat melucuti perasaan kosong. Karena kebahagiaan adalah hak semua orang, sekaligus kewajiban masing-masing untuk mendapatkannya.