Tapi beruntung lagi mereka bukan dani. Beberapa sikapku yang memang tidak menyenangkan masih bertahan dalam diriku, tak bisa rapih dan bersih, meletakkan barang sembarangan, tidak mencuci piring setelah makan dan hal-hal lain yang tak bisa kusebut satu persatu. Jelas saja aku malu.
Awal upayaku melepas busana tebal yang melindungiku dari komentar orang lain, hidup dalam organisasi, hidup bersama orang lain dalam satu atap. Ah berlebihan. Jelas benar kalau aku memang tidak rajin, mungkin itu alasan paling memalukan yang membatku tak ingin banyak orang tahu tentang diriku sehingga aku menutup diri: memalukan.
Pagi tadi, tidak ada kuliah. Setelah gontai dalam gerakan solat aku ambruk di atas kasur. Jarum jam terlalu kencang berlari, dani serupa joki yang memukul kudanya agar dapat berpacu, namun karena dia bukan joki dan tak ada kuda yang dapat dipukul, maka pintu kamar pun mendapati hadiah, katakan saja begitu. Keras, tapi aku tak menanggapinya.
Ada satu jam sepertinya dia memukul-mukul pintu agar aku bangun dan bersih-bersih kontrakan, itu perkiraan waktu dalam keadaan setengah sadar. Agaknya dia patah arang. Namun kasur itu menjadi lempeng tektonik yang retak, aku semakin tak peduli meskipun goncangan itu bakal menembus angka sepuluh dalam skala richter. Dia benar-benar keterlaluan tak memahami betapa aku kecanduan kondisi itu.
Keterlaluan! Begitulah kiranya bahasa kakinya yang beranjak pergi. Aku bebas dan serasa menjadi kerbau di kubangannya.
Sisa mimpi telah menguap bersama embun, gemericik air dan benturan piring adalah nada yang paling kubenci. Nyawaku belum terkumpul namun matahari ikut-ikut masuk lewat kaca jendela, membuka kelopak mataku: kali ini dunia tidak berpihak padaku.
Akhirnya aku dapati pelajaran yang menyebalkan, ada bagian-bagian di mana orang harus peduli dengan orang lain dan lingkungan juga kewajibannya. Dengan kaca mata yang lebih jernih lagi, tidak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya karena kebebasan itu dibatasi kebebasan orang lain. Kalau aku bandingkan dengan keadaan sebelumnya, ternyata kesendirian pun bukan merupakan kebebasan, melainkan keterbatasan yang menyempitkan langkah, menyesakkan.
Aku masih memeluk mimpi-mimpi, sampai nada yang mungkin tak sanggup di iramakan keluar lewat mulut knalpot: teriakan kekecewaan. Oh tidak. Teriakan knalpot itu melemparku ke dalam kamus, tepat sekali kubaca definisi diriku: manusia yang mengecewakan.
Sampai suara itu lenyap, aku ikut lenyap. Seperti cuma ragaku yang berjalan keluar, sementara jiwaku masih tak bisa kudefinisikan. Selain kehilangan diriku sendiri, aku kehilangan embun yang sejuk, kehilangan cahaya pagi yang ramah, kehilangan suara burung kecil yang merdu dan kehilangan empati yang berharga.
Meninggalkan kebiasaan buruk seperti berusaha meninggalkan diriku sendiri, lalu mencari orang lain untuk menjadi diriku. Atau aku belum mengerti maksud semua ini? Bukan mencari orang lain untuk menjadi diriku, melainkan mencari diriku yang sebenarnya lewat pandangan obyektif orang lain.
Banyak orang yang belum menemukan jati diri, mereka tersesat dan aku yang paling sial karena bukan hanya tersesat namun berpeluang besar tak bisa kembali. Ah, kembali kemana? Aku tak pernah merasa pergi, aku adalah rumahku yang nyaman, jati diri sementaraku.
Namun bagaimanapun juga, aku mesti mengakui, aku salah. Hanya saja kurang menyenangkan jika aku siuman dengan cara mencium kaos kaki yang belum dicuci berbulan-bulan, aku ingin sadar layaknya pemeran utama dalam film yang tak sadar diri, dengan cara yang lembut dan menyenangkan. Khayal. Analogi ngawur.
Aku duduk di teras. Merasakan kesibukan angin, menyaksikan runtuhnya dedaunan seperti runtuhnya kerajaan majapahit akibat perang saudara. Begitulah kalau nyawa belum terkumpul, sering mengada-ada dan tidak jelas. Harap dimaklumi sebagaimana aku sering memaklumi diriku sendiri.
Jarang ada proses cepat yang menghasilkan produk yang cepat, kebanyakan melalui proses yang lama. Aku bukan mie instan yang dalam beberapa menit siap disantap. Aku ingin jadi pedang atau keris yang tajam, melewati tempaan dan proses yang panjang. Doa yang sederhana, semoga aku kuat.
Piring, gelas, sendok dan perabot sudah bersih. Matahari pun sudah dari tadi membersihkan wajah langit dari malam yang gelap. Dunia bangun dari tidur. Masalalu melambaikan tangannya, dan masa depan memanggil-manggilku. Aku masih dalam pengaruh kantuk, perlahan mulai sadar dan semakin sadar kenyataan itu jauh lebih menyenangkan dari mimpi.
Kenyataan bahwa orang lain akan menaikkan harga martabat seseorang, dari sikap-sikap yang semakin dewasa meski tak harus meninggalkan warisan sikap masa anak-anak dulu, bahwa orang lain seperti angin yang berhembus di luas lautan, membentuk ombak besar bergelombang, merampas ketenangan namun membuat hidup makin hidup.
Andai saja aku adalah petani yang menghasilkan padi, lalu dapat menumbuknya menajdi beras, andai saja aku penenun yang dapat menggulung benang sekaligus membuat pakaian, andai saja aku guru yang dapat mengajari diri sendiri, andai aku pedagang, andai aku pengusaha tekstil, andai saja aku distributor, andai saja aku negarawan, andai saja aku koki, andai saja aku bisa menjalani banyak hal dalam satu waktu, pasti aku tak membutuhkan orang lain.
"Bangunlah, dasar pemalas!" Bentak Aristo temanku