Kubiarkan diriku hangus menjadi abu yang tak diperhitungkan lagi. Sekejap saja, kurasakan pelukan dunia yang hangat dipayungi mimpi dari terik kenyataan. Aku hidup dalam pengejaran yang melelahkan. Tak seorang pun ingin mendengar ceritaku, sepiku dan duniaku yang kosong.
Kulewati saja semua ini, merapat ke pulau yang tak berpenghuni, hanya ada harapan yang terbungkus gelisah takberkesudahan. Aku harus berpikir bagaimana aku lari sebagai diriku saat ini. Mungkin menjadi orang yang dirindukan, ah mana mungkin? Aku telah mencoba dengan usahaku yang menuai kesia-siaan.
Baginikah ketidakmampuan menerjemahkan peristiwa, harus menanggung resiko tak mengerti apa-apa. Orang-orang lemah mestinya bersyukur karena ada yang jauh lebih lemah: aku.
Di depanku, tak bisa kulihat apapun selain bayangan, ya bayangan saja. Tak tahu apa itu sebenarnya, ini pengejaran yang melelahkan.
Orang yang hidup sendiri akhirnya menyadari bahwa tidaklah bisa dikatakan hidup keadaan itu, orang itu aku yang kini menikmati keterasingan jiwa. Berusaha menembus tabir dengan angan yang tumpul, berusaha lari dengan kaki yang pincang, berusaha berlindung dari tembok yang rapuh.
Aku serupa mencumbui anganku saja, yang demikian semu. Ada jalan-jalan setapak yang kuyakini dapat menghantarku ke mata air, namun nyatanya menjerumuskanku kedalam kondisi selemah ini. Matahari serasa enggan melewati siangku, bintang-bintang padam, hanya anganku yang liar berusaha lari menuju masa depan.
Apakah orang lain juga pernah merasakan kejamnya kondisi sendiri, tak ada cerita dan tak dapat bercerita? Kosong, dunia benar-benar kosong. Bunga-bunga layu, aromanya habis dibawa kabur angin yang selalu sinis. Tembok yang bisu ikut campur dalam masalah ini, tertawa seenaknya saja, seperti berniat pula melemparku hingga sedalam-dalamnya sunyi.
Kubuka masalalu, mungkin itu adalah kuburan yang seringkali kusemayami. Memaksaku yakin setiap angan akan tewas dalam kekalahan menyakitkan. Seperti inilah mungkin awal keburukan merekah dalam hidupku.
Hujan turunlah, biar aku bisa hanyut dalam aliranmu, biar aku basah dalam dekapmu. Tak ada warna lagi, sungguh.
Potongan-potongan kue mengikhlaskan rasa hambarnya untukku. Kenyataan menghadiahiku daun-daun kering yang terus berjatuhan, mendatangkan kemarau lebih cepat dari sebelumnya, aku haus, aku kangen.
Biarlah aku cemburu pada pencapaian yang tak sanggup kuraih, pada angan yang melenggang bebas, lepas dari dekapku. Biar pula kesendirian menjadi kondisi yang mengurungku hingga beku, toh memang seperti ini adanya.