Tiga hari, semangatku anjlok. Anganku terpelanting ke semak rimbun, seperti tak akan kutemui jejakku selanjutnya pada logia buntu. Lesatan waktu membawaku pada curam kekalahan yang menyesakkan. Matahari menelanjangi seluruh pemikiranku, sebuah ruang yang tak lagi jernih, asap rokok telah memenuhinya.
Aku tak bisa mengendalikan kemudi hidup, jiwaku oleng. Benturan-benturan keinginan dengan kenyataan menimbulkan percikan api, dan orang yang sensitif seperti diriku, mudah sekali tersulut. Sikap rasionalitas yang resesif akhirnya memuncullkan kekecewaan yang mendalam. Idealisku terlalu sombong untuk menjadi benteng bagi pemikiran-pemikiran radikal, keras dan lurus. Dunia ini berkelok-kelok, aku terlalu statis dan kaku. Susah untuk legowo kalau ada yang memberontak idealisku.
Tiap-tiap komunitas mengibarkan pikiran yang berbeda, aku tak ingin berteduh di bawahnya. Orang-orang hedon tumbuh subur di lingkunganku. Aku cukup alergi dengan sikap-sikap mereka, akibat dari kehidupan glamor yang gemerlap. Kesederhanaanku terlalu kumuh bagi mereka dan untuk masuk ke dunia itu seperti ada tabir penolakan. Mereka itu endemik, tak bisa membaur dan menempati habitat pemikiranku yang sosialis.
Sedangkan aku yang sensitif, tak mudah untuk mengulangi upayaku masuk ke dalamnya. Aku cuma dianggap patung dalam ruang mereka yang glamor itu. Maka aku mengasingkan diri ke lingkungan yang lebih ramah menerimaku, dan kini hendak mengasingkan diri dari Mee. Dia berubah, sikapnya tak lagi hangat dan cenderung tak mengacuhkanku. Perbedaan itu lahir tiba-tiba, dari perbedaan yang tiba-tiba itu pula muncul percikan api yang kini menghanguskan keakraban kami.
Aku tak habis pikir, kekecewaanku tumpah. Dia makin jauh dariku.
Aku berusaha merebutnya dari seretan ombak itu, dan aku terengah-engah. Dia tenggelam ke dunia baru yang mungkin lebih menyenangkan baginya. Itulah kekalahanku, dan itupula yang bikin semangatku anjlok.
Dia berasal dari keluarga berada, sedang aku berasal dari keluarga yang fasih menengadahi kemurahan-Nya dalam ikhtiar dan doa. Hidup dari keluarga sederhana mewariskan kesederhanaan, dan hidup dari keluarga mewah akan mewariskan kemewahan. Mungkin Mee bosan denganku. Itu kemungkinan paling kubenci. Dan aku juga tak bisa melarangnya, dia adalah pemberontak yang ulung dalam meraih kebebasannya. Kini Mee berhasil meraih kebebasannya dariku.
Cemburuku meletup-letup. Aku merasa kesepian. Dia tengah menikmati dunia ini yang gemerlap. Aku merasa kehilangan…
Terakhir kulihat wajah manis itu menoleh kepadaku, angin menghantam keberuntunganku, pohong-pohon mengering seperti hendak tumbang ke nasib baikku. Terakhir kulihat wajah manis itu menoleh kepadaku, dunia ini berpihak kepadaku. Terakhir kulihat wajah manis itu menoleh kepadaku, ada banyak cerita yang ingin kubagi. Namun belum sempat dia ketahui hingga dia berpaling.
“Mee, sekarang semua bisu. Rindu mulai mengkristal dalam kalbu. Kau menjauh tanpa kejelasan, tiba-tiba saja” ucapku dihadapan potonya yang ramah. Dia pun tak menjawab, tak mengenali bahasaku yang kesepian.
“Aku tak berhak mendekap kepedulianmu, sesunyi apapun yang akan datang membawa semua keceriaanku. Dan aku juga tak sanggup menghindari bola api kecemburuan yang meledak di hidupku. Kau penyebabnya. Ah, aku tak pantas menyalahkanmu, akulah yang terlalu percaya kau tak akan berubah, namun kini anggapanku salah. Aku peduli, sayangku kutuang semua, dan ketika kau pergi aku kehabisan itu semua.” Ucapku lagi. Dia pun seolah tak peduli, gumpalan kebosanan membesar dan menutupi matanya pada kondisiku yang lemah. Cinta selalu melahirkan konsekuensi. Konsekuensi bahwa tak ada keinginan yang tak bisa dipaksa.
Aku harus merelakan kebebasannya. Barangkali ini hanya berat untuk sesaat.