-->

Di Celah Awan

Di Celah Awan

Langit tampak cerah, meski ada gumpalan gelisah di sela awan tipis. Curigaku tak bisa menemukan ruang rahasia itu, tak juga mendapati apa yang dia sembunyikan. Perempuan terlalu pandai menutupi dirinya, namun aku tak terlalu bodoh, aroma itu tercium, hanya saja tak tahu dari mana asalnya. Kutatap matanya yang berkaca, belum kutanya apapun, air matanya tumpah. Ternyata aku salah.

Musim ujian hampir tiba, tiap-tiap mahasiswa menyiapkan gada seolah hendak perang. Ruang ber AC akan terasa panas, dari ubun-ubun akan keluar uap-uap kekhawatiran dan akan banyak kudapati yang tumbang. Semoga bukan aku atau Mee.

Aku menduga Mee belum siap menghadapi ujian, air matanya makin deras. Kutenangkan dirinya, justru makin mengucur. Pipinya basah, tapi tak sepatah katapun yang keluar. Aku tak mengerti mesti melakukan apa. Dia sesenggukan, berusaha mengeluarkan kata yang menyangkut di tenggorok. Aku terus menenangkannya. Suaranya terbata,”a..aku kangen ibu…” ucapnya, lalu menangis lagi. Kepalanya menyandar di dadaku, kuusap rambutnya yang panjang itu. Kuseka kesedihannya, “tenangkan dulu dirimu, cerita apa yang terjadi?”

Biasanya tak selemah itu. Pertama kali kutemui dia menangis, bentengnya yang kokoh runtuh. Memang sudah lama dia tak bertemu orang tuanya, hampir setahun lalu, ketika lebaran. Wajar jika dia rindu. Tak ada sanak family di Lampung, dia seorang diri. Namun biasanya tak sesedih ini.


“Ibuku sakit, Di…”

“Pulanglah dulu” ucapku lembut.

“Ibu di rumah sakit, aku.. aku…” air matanya tak habis-habis.

“Kamu bisa pulang dulu, ujian masih seminggu lagi, temui ibumu.”

Air mata masih menetesi kalimatnya, pesannya pun basah di ponselku. Dia pulang juga ke Jakarta, kuantar dia sampai terminal, cuma bisa membekalinya doa.

Wajahnya tampak khawatir, ibunya diopname sudah dua hari yang lalu, pikirnya sakit biasa namun sangkanya salah. Dia sayang pada orang tuanya, walau ada sikap-sikap pemberontakan dalam hidupnya. Wajar saja dia khawatir. Kita juga akan mengamini perasaan itu, bagaimana tidak, seorang ibu yang dulu mengandung sedang sakit keras. Darahnya mengalir di sepanajng pembuluh, tiap getaran dalam dirinya akan meresonansi jiwa, tak mungkin tidak.

Sesampai di Jakarta, dia tak mengabariku lagi. Pesanku pun tak dibalasnya. Tiba-tiba saja dia sampai di Lampung. Wajahnya masih gelisah. Seusai ujian akhir semester dia langsung ke Jakarta lagi. Itu pertemuan terakhirku hingga awal semester tiba.

Dia akan cerita nanti. Karena sepanjang ujian dan hari-hari itu kata-katanya terkunci. Selalu saja tergesa-gesa kembali ke kontrakan, tak berbincang denganku, lenyap keceriaannya. Aku harus memahami, meski tak kunjung paham. Tetap saja ada rahasia yang tak bisa tiap orang dapat mengetahuinya. Dan rahasia itu tersembunyi di balik diamnya yang dingin dan sunyi.

Share this:

Disqus Comments