Kutembakkan cemburuku ke arah burung yang menguasai angkasa. Kepakan sayapnya anggun serasa mengendalikan angin dalam ceria. Terkadang turun ke dahan-dahan, bersiul riang. Terbang lagi mendapati kemerdekaannya.
Episode ini aku ingin bebas, tak ingin terkurung dalam sangkar kesibukan Aku ingin terbang melayang, sejenak menjauh dari kebisingan hidup, dari pengap harap.
Ubun-ubunku berasap, ratusan meteor jatuh di sana. Ceruk-ceruknya akan segera terisi limbah frustasi. Aku tak akan bisa terlalu jauh tapi setidaknya dapat menghirup oksigen. Hari-hari yang penat hanya akan meledakkan diriku sewaktu-waktu.
Anggun C. Sasmi menyanyikan lagu untukku. Sepasang headset mendekatkanku dengannya. Rumput bergoyang riang. Melewati trotoar, aku ada di tepi jalan besar. Berjalan di samping kesibukan dan bising kota, namun lagu demi lagu mengalihkan perhatianku.
Aku tersesat dalam secuil euforia. Terus berjalan ke arah selatan, ke arah kota. Masih terlalu jauh namun beton-beton sudah rimbun dan tumbuh subur, berbagai toko saling merayu pelanggan, sebagian terlihat menceburkan diri di dalamnya, sebagian yang lain tetap melaju.
Baliho, spanduk, iklan, bahkan potret-potret berdasi dengan background bendera partai sudah berkoar. Semua tumpah ruah di Minggu pagi. Matahari di timur memandangi langkahku, kendaraan melindas aspal hitam yang baru selesai dikerjakan.
Aku berbelok ke arah kampus. Terlihat lelaki paruh baya menggunakan handuk kecil di leher, keringat keluar dari pori membentuk garis, dia menyekanya dan terus berlari. Beberapa menyusul di belakangnya. Aku tergoda, turun ke aspal dan berlari kecil, kendaraan menuju kampus sepi. Di depanku ternyata ramai anak-anak muda yang menikmati segarnya pagi. Aku ikut lari, lari dari kesibukan.
Embun masih melekat di kulit-kulit daun. Sesampai dekat bundaran kampus aku tak mengerti mau melakukan apa, tapi terus saja berlari dan berhenti di dekat beringin besar. Tak ada yang duduk di situ. Aku ingin bebas, membayangkan tumbuh sayap.
Akhirnya aku sadar, aku masih dalam kerangkeng kesibukan. Sebuah pesan dari Mee di layar ponselku, bunyinya singkat tapi membuatku tiba-tiba jadi srpinter, “Tugas kita gimana?”. Aku kembali ke kontrakan, di tengah jalan pikiranku berusaha menangkapi judul makalah, tugas yang belum tersentuh dan besok harus sudah dikumpul. Hari-hari mahasiswa teknik, tugas dan deadline. Mee jadi pengingat yang baik sekaligus menyebalkan, belum dapat sayap-sayapku dikepakkan, namun sudah patah lebih dulu.
“Jam delapan aku ke kontrakanmu.”