Di bawah beringin tua nan rindang. Aku duduk di sampingnya, saling menyelami pikiran masing-masing. Angin bermain-main dengan akar-akar beringin yang menggantung, bergerak seolah menari. Satu dua daun berjatuhan mengecup lantai dunia. Orang-orang hilir mudik melewati paving block. Ramai sekali siang itu, aku dan Mee duduk di sebelah selatan beringin. Ada banyak juga yang berteduh. Kolam berbentuk bundar, serupa sirkus tempat air beratraksi, melombat dan terjun dengan indah.
“Aku nggak tahu mengapa sedekat ini denganmu” ucapnya sambil tersenyum. Kutatap matanya, “Aku juga nggak tahu” Kami tertawa melepas keceriaan dari kotaknya.
Orang-orang menyebut tempat itu Berta, beringin cinta, tak jauh dari gerbang masuk Unila. Tempatnya teduh seteduh hatiku.
“Aku masih belum paham mengapa kamu ke Lampung?” Tanyaku pelan. Dia menoleh kepadaku, tersenyum dan berkata, “Ada banyak yang nggak kita pahami dalam hidup ini, ada banyak hal tanpa alasan jelas, tapi terjadi juga. Apa kamu paham, mengapa kamu lahir di Lampung bukan di Jakarta seperti aku?”
“tapi,..”
“Kalau menurutmu ini aneh, Di, masih banyak orang yang lebih aneh lagi, tapi tak mempertanyakan mengapa begitu. Bagiku ini nggak aneh, apa aneh jika kemudian aku bertemu denganmu?” jawabnya lembut. Aku tak mampu menjawab, hanya tersenyum.
Hidup ini tak selalu membutuhkan penjelasan, tak selalu mempertanyakan alasan. Dia keluar dari mulut kerang, sekali mutiara tetap saja mutiara, sekalipun berada dalam lumpur. Yang perlu kutanyakan adalah, siapa diriku, sebagai apa sekarang?
Di lain sisi yang dia tutupi, Mee pribadi yang sederhana, padahal kutahu orang tuanya bukan kalangan menengah ke bawah, dia juga pintar, beberapa universitas ternama yang menerimanya tidak diambil. Lalu ke Lampung, begitu saja.
Aku yakin ada alasan tertentu, meski aku tak tahu itu apa.