-->

Kurebut Lagi Harapanku

Kurebut Lagi Harapanku

Diriku menggendong harapan besar. Di depan banyak sekali persimpangan yang tak kukenali. Dunia ini genit, penari-penari bercumbu dengan musik menghadangku untuk larut ke dalam nada-nada yang merdu ke dalam gerak nan eksotis.
Sekawanan serigala meremas nyaliku di dalam lelah dan lapar, tak jauh dari pandangku. Matahari menyengat, mimpi menguap melahirkan fatamorgana. Aku ingin sekali lari dari kondisi itu, melewati jalan berbatu yang sering membuatku meradang. Tapi rayuan-rayuan itu menyekapku, merampok bekal yang kubawa, menguras cintaku.
Tak ada sebilah keberanianpun yang tersisa untuk melanjutkan perjalanan, untuk sekadar berontak dari keterlenaan ini. Api perlahan padam, jalanan menjadi gulita. Aku telah menyerahkan harapan itu di sana di kelam keterpurukan.

Aku ingin menangis, memeluk ibu yang tak henti berdoa. Kuingat rumah yang hangat dengan kebersamaan. Mereka melepasku di rimba ini, membekaliku doa-doa. Di depan ada fatamorgana: taman yang amat indah, ada bunga mawar, melati, anggrek dan juga lainnya, ada juga sungai jernih yang mengalir gemericik di atas bebatuan kali yang kasar. Fatamorgana itu anganku yang tak sampai.
Langkahku gontai. Aku jatuh di lembah yang curam, mengumpulkan dusta-dusta, tak sampai hati mengabarkannya. Harapan-harapan itu telah diterkam buas dunia, buasnya diriku.

Lelaki nakal ini telah meninggalkan masa remaja, menginjakkan kaki di halaman kedewasaan, namun tak kunjung melepas kanak-kanaknya yang manja, yang selalu ingin disuapi. Aku kehilangan diriku sekarang. Kehilangan cahaya, kelam. Doa-doa itu yang menyelimutiku, tak ingin aku kedinginan. Ini petualangan yang asing. Aku seringkali lemah lalu melarikan diri sejauh-jauhnya. Menghindar untuk melintasi fase-fase  berat, menghindar untuk melepas kemanjaan. Namun aku sudah menjadi petualang nakal yang sering kali alpa hingga kehilangan diriku sendiri.

Asap rokok mengepul. Kuseruput nasihat biar hangat tubuhku.

Aku menari di kelam malam, aku menyanyi di sunyi sepi. Sementara masa depanku entah kemana. Aku tertawa,  berteriak sekerasnya, dan sadar aku terkungkung dalam imajin.

Lelaki nakal yang dulu manja, kini menghirup anyirnya hidup, kini terpelanting dari terpaan angin. Lelaki nakal itu, aku, menggendong harapan di jalan terjal penuh bebatuan. Akankah sampai?


Kuciumi anganku yang sekarat. Berusaha melangkah lagi melewati lorong kelam sunyi.

“Kau mau kemana?” tanya malam
“Aku menuju pagi” jawabku, tak menoleh lagi.
“Kau akan selalu terperangkap dalam dekapku”
“Tidak, tidaaaak!” aku lari.

Hidup ini penuh probabilitas, penuh teka-teki. Kujejaki hari demi hari, sadar, setua ini belum berbuat apa-apa. Kemungkinan buruk aku bakal jadi bangkai masa depan. Aku tak mau.

“Ibu, aku bawa lagi harapan itu biarpun aku selemah ini. Aku tak akan terus-terusan terpuruk, tak lagi meronta padamu”

Kulihati putung rokok bergumul dalam asbak, sepertinya tertawa. Kurebut lagi harapanku. Aku tak mau terlalu lama terpuruk.

Share this:

Disqus Comments