-->

Daun-Daun Jatuh

Daun-Daun Jatuh

Awan menepi ke pinggir langit. Matahari teramat garang siang itu. Uap-uap terangkat ke atas. Daun-daun tertunduk layu, sementara aku telah hangus dibakar murkanya yang menyala.
“Sudah kubilang berkali-kali!” suara itu meledak dari mulutnya yang lembut.

“… tapi,…”

“Biarkan semua ini seperti apa adanya…” katanya sembari memalingkan wajah. Kali pertama kudapati luapan emosi yang mendidih, dari Mee. Aku mengungkapkan perasaanku, dan itu salah baginya.

“Aku nggak bisa menahanmu untuk bersikap seperti ini, dan kamu juga nggak bisa menahanku untuk mengungkapkan isi hatiku.”

Dia pergi begitu saja. Angin lewat di depanku, rumput menari, aku benci kondisi itu.

Aku sendiri memikul gelisah. Kutatap langit, matahari lari dari pandanganku, awan bergulung. Serasa salju turun, makin tebal. Baru saja dia pergi, aku sudah menggigil.

Ada orang-orang yang dengan mudah diamini perasaannya. Tidak denganku, aku iri.

“Kita sahabatan saja,…”

Kupikir cinta itu sederhana, ternyata serumit ini. Tak semudah menaklukkan angka, tak semudah mengalirkan persoalan ke pipa-pipa rumus yang sempit. Jalanku tersumbat oleh kata “sahabat”. Hatiku kalut tak terkata. Bukan cuma harapan yang jauh panggang dari api, namun dia juga pergi. Mungkin akan mengenalku dengan cara yang lain, yang akan bikin aku jadi semakin asing baginya.

Apa aku salah? Kuceburkan diriku ke dasar perenungan. Kelam realita mengapung di permukaan kenyataan. Seperti minyak yang ingin memisah dengan air, meski dekat sebenarnya tak menyatu.

Aku bangun dari mimpi-mimpi, kuhela nafas, kuhirup kenyataan yang menyesakkan dada. Perkenalanku dengannya tak dapat dihargai lebih dari sahabat, aku semakin yakin tak berarti apa-apa baginya.

Esoknya tak kutemukan matahari itu terbit dengan ceria. Pagi yang tak ramah. Dia lewat begitu saja tanpa menyapa. Rasanya kejujuran itu jadi dosa yang menggumpal, jadi kesalahan yang tak dapat ditoleransi lagi. Ah, apa yang telah kulakukan? Aku tak menginginkan ini terjadi, aku juga tak bisa menahan derasnya perasaan. Serasa ada potasium yang meledak, aku hancur berantakan: berceceran penyesalan.

Sensorku mati, tak ada yang lezat lagi. Burung bernyanyi tak merdu, wajah langit sore tak lagi eksotis, dinding menatapku curiga, cerita-cerita lain jadi hambar, dan dunia ini hanya ada aku, yang lain pergi ke tempat lain, seperti burung-burung yang meninggalkan musim dingin.

Persahabatan ini menyerupai tembok Berlin. Ingin sekali kuruntuhkan biar hatiku dan hatinya tak bersekat. Tapi bagaimana caranya? Jika kuruntuhkan ternyata bikin jarak kami mengembang.

Tak habis pikir, dia benar-benar menjauh. Parit kecil menjadi sebesar selat. Aku kangen, kangen senyumnya yang bikin bunga-bunga cemburu, yang bikin langit sore bersolek karena iri. Aku kangen, kangen dengan sikapnya yang lembut, kangen dengan sapanya yang merdu, kangen dengan tegurnya yang menggetarkan jiwa.

Aku kangen dengan ceritanya, cerita keberaniannya merantau sendiri dengan segala resiko, dengan alasannya yang nyleneh juga dengan cerita lainnya yang lezat. Aku kangen suaranya kangen dengan kebersamaan yang bikin orang berbincang dan meng-copy gosip ke mana-mana. Aku kangen dan tak merdeka lagi karena kangen ini.

Semua kisah itu menumpuk di atas meja, aku cuma bisa memandanginya. Terdiam, lalu hanyut dalam anganku. Aku salah menerka. Riwayat yang harus kuhapus dari memori. Menghapusnya berarti menghapus hidupku.

Menghadapai hari-hari sepi yang asing aku kehilangan banyak hal. Hatiku mendung, kesedihan berjatuhan membasahi kalbu. Belum pernah kualami hal ini sebelumnya. Aku termasuk orang yang tak mudah dekat dengan orang lain apalagi perempuan. Jika semasa sekolah dulu teman-temanku menyibukkan diri dengan urusan asmara, aku sama sekali tidak tertarik. Mereka menganggapku aneh, begitu juga aku, menganggap mereka aneh.

Kini aku dihadapkan dengan persoalan itu. Aku sudah menceburkan diri dan ternyata tenggelam. Bagi lelaki lain mungkin ini biasa, tapi tidak bagiku. ini seperti perang, justru aku yang menelan kekalahan. Barangkali teman-teman sekolahku tertawa jika mendengar cerita ini. Aku memang bukan jenderal perang, dalam urusan asmara aku pecundang. Buktinya, hal yang menurut mereka kecil justru membuat bentengku porak-poranda.

“Kita sahabatan saja,…”

Aku menolak kata-kata itu, dia menolak sikapku. Perang dingin?

Kukecilkan sapaku dalam volume teramat rendah, cuma hatiku yang mendengar. Ada balok-balok es yang tak dapat kucairkan, balok-balok es itu adalah sikapnya.

Dua hari itu cuaca hatiku buruk. Daun-daun jatuh melepaskan diri dari reranting. Jiwaku memberontak, dalam dada ini berkecamuk antara keraguan dan rasa malu. Suara langkahnya memantul-mantul sampai ke dinding hati. Aku tak akan mampu melepas potretnya, walau guncangan yang kurasa berusaha menjatuhkannya ke lantai. Kurebahkan nasibku di atas harapan yang rapuh serapuh reranting pohon itu. Dia masih menari dalam benakku. Tak henti-hentinya menari.

Bintang mencibirku, langit muram. Dia telah mengepakkan sayapnya melewati ruang ketakterdugaan ini. Meninggalkanku untuk tidak menerjemahkan angan itu berlebihan. Tak ubahnya kupu-kupu, dia pergi dengan sayap indahnya.

“Aku tidak pergi, aku tidak menghindar” Suara itu meluncur dengan penuh kelembutan dan tiba-tiba. Seketika itu aku mematung diri. “Aku cuma belum ingin terikat” ucapnya singkat, lalu pergi dengan senyum kecil.

‘Aku cuma belum ingin terikat’. Kuulangi berkali-kali, kuulangi dan kuulangi. Tak secepat dia pergi setelah mengucapnya. Kulangi dan terus kuulangi: ‘Aku cuma belum ingin terikat’.

Apa ini, ini apa? Begitukah perempuan, selalu saja mengejutkan? Senyumnya itu, senyumnya itu kutemukan lagi mengusir resahku. Meski belum terdefinisi dengan jelas, namun melegakan paruku yang sesak dengan resah.

Perlahan matahari menyibak awan. Cahanya tercurah, tubuhku serasa dikecupi berkali-kali. Apa ini, ini apa?

Bunga-bunga merekah kembali di bibirnya, indah sekali. Jantung dunia ini berdenyut mengalirkan kebahagian dan keceriaan ke setiap ruang sepiku. Balok-balok es itu mencair dengan sendirinya, kini menggenang tak tertampung olehku. Dengan sedikit sentuhan saja, bagiku dunia ini terasa indah sekali, Kawan.

Ibarat potongan kue, kami nikmati iris demi iris kisah kebersamaan. Akhirnya tak ada yang perlu dipaksakan dan tak ada pula yang peru dihentikan. Karena setiap perjalanan akan menemui ujungnya, berujung buntu atau terang benderang. Kunikmati saja, kulewati saja dengannya. Akan ada banyak hal yang belum kutemukan. Kenyataan adalah kejujuran yang perlu kuhargai, walau tak sejalan keinginan. Sahabat bukan status yang buruk untuk saat ini, yang pasti aku akan sangat bersedih jika harus kehilangan dirinya.

Dia tertawa juga tersenyum, aku tersipu malu. Tapi dia menghargai kejujuranku.

“Cinta itu akan menyatu bukan karena aku atau kamu menginginkannya, tapi karena Tuhan mengijinkan” ucapnya, lalu tertawa renyah. Aku ikut tertawa dan melahap kejadian demi kejadian.

Biarlah kusimpan dengan baik cinta ini, melewati musim demi musim hingga tiba waktunya. Akan bersemi atau daun-daun itu jatuh lagi.

Share this:

Disqus Comments