Secangkir mimpi melekatkan kafein dalam hidup. Membuat diriku terjaga meski lelah. Aku pelancong angan yang tak bisa kembali dalam realita, timbul tenggelam di lautan berombak, menjelajahi bukit dan lembah dengan pepohonan. Aku seperti mengenal burung-burung nakal itu, mengenal ikan-ikan bercengkrama di tengah lautan, mengenal bintang-gemintang yang genit, tapi tak mengenali diri sendiri.
Aku merasa asing, lalu menceburkan diri ke dalam kelam sunyi. Tak ada suara, cuma rintihan yang keluar .
‘Ah, dunia ini seringkali berlebihan. Mayat-mayat kalender masih menggantung di benak, belulang rencana berjatuhan, belum juga kupunguti. Aku melangkah lagi mencoba menghirup udara segar dari keceriaan hari. Aku masih tersisih dalam petualangan pencarian jati diri.
Aku haus, kemana bisa kudapati mata air? Ingin kuteguk seperti kuteguk kenyataan ini. Matahari begitu terik, yang menguap tak bisa kutangkap, kini jadi awan kelam. Mendung yang tak kunjung turun hujan. Pelangi tak pernah muncul lagi seperti masa kecil yang lugu dan ceria. Aku disuguhi fatamorgana yang lezat tapi kosong. Tak beda dengan diriku ini: hampa. Cuilan kisah meninggalkan ribuan tanya yang juga tak sanggup kujawab. Kejenuhan ini makin keruh, kebosanan makin menjamur. Aku bukan siapa-siapa yang berarti.
Sikap-sikap yang tercemar emosi tinggal menunggu percik api. Angin enggan meniupkan ruh ke dalam kibaran semangatku.
Jurang menghadang di hadapanku. Kalau aku terjun, akan jatuh ke dalam keterpurukan. Aku hidup dalam angan imajiner, menjadi pembual besar yang terluka, menjadi pecundang yang tak mendapat tempat tinggal untuk berlindung dari badai kemungkinan.
Lagi-lagi, sunyi mengepung kalbuku, menguasai kesadaran untuk bangkit berseri. Aku ini siapa? Kucari di dasar akar kekokohan, tak kutemui. Kucari di puncak impian cuma khayal. Kucari di liku jalan cuma ketersesatan. Keramahan melarikan dirinya dari sisiku. Sosok-sosok anggun terbentengi cadar yang angkuh. Kutelanjangi pikiran, biar mentari menciuminya, biar dunia ini tertawa.
Aku kehilangan identitas. Pencurian terbesar yang kualami. Gaun yang kupakai kupinjam dari rasa iba. Aku harus berjalan sendiri menembus gulita dan kabut tebal. Tanpa senyum, tanpa pelangi di langit. Aku dimana? Adakah dalam dunia nyata yang berbelas kasih membukakan pintu dari sunyi yang dingin? Atau aku akan membeku jadi balok es? Aku tak pernah mengerti apa judul perjalanan ini, pencarian jati dirikah? Atau pengibaan yang sebenarnya tak tersambut. Ah, entahlah.
Malam makin larut, aku baru bisa menceritakan kekelaman ini dengan agak rumit dimengerti, sebagaimana akau tak mengerti diriku.