Tak ada bunga-bunga, kesendirian merupakan musim yang mengenaskan. Kalenderku dipenuhi tulang-tulang mimpi yang tak bernyawa lagi. Berserakan, menutup jalan-jalan setapak pemikiran, sebagian menggunung seperti hendak menghalangi langkahku. Aku merasa terkurung tanpa kebebasan dan sialnya tertalu kuat bertahan dan mungkin mencintai sepi terlalu fanatik. Konyol.
Sekat itu ada dengan sendirinya, serasa ada pipa rahasia yang menjadi jalan kegemaran angin kutub lewat. Aku tak cukup berani membuka pintu dan membiarkan matahari mengecup keningku. Harapan jadi selimut yang tak lagi hangat, tapi selalu ada yang baru, selalu saja ada harapan baru.
Beginilah kutafsirkan sepi. Aku tak bisa lari menjebol dinding ketakutanku, lalu membiarkan gelisah menjadi angin ribut, membentakku, menghujatku.
Kubaca pesan langit dari jendela kaca, mengisyaratkan aku harus pergi dari ruang ini: jiwa yang sepi. Tapi aku harus kemana? Akankah ada tempat di mana bunga bersemi, bermekaran yang menerima kehadiranku dengan keikhlasan dan senyum anggun? Mungkin tidak semudah keinginan, tapi itu mungkin, ya mungkin. Mungkin saja akan membuatku beku selamanya.
Ah dunia ini nakal, seringkali memepermainkan.
Tak pernah kutemukan sebelumnya kelopak bunga yang menengadah mengundangku lewat doa. Barangkali sepi adalah milikku semata, begitu mengenaskan hidupku. Dinding di sekelilingku tak henti tertawa, kujitak kenakalannya yang sering menghinaku. Tapi ini bukan lelucon Kawan, kekonyolanku saja. Sepi itu tidak nikmat.
Namun sepi pula yang menyadarkanku, dunia ini tak sesempit pemikiranku. Kemudian sepi perlahan mengenalkanku pada cinta, ya bak taman yang subur, letak bunga-bunga ramai bermekaran. Bergerombol kupu-kupu bersuka ria, menikmati hidupnya.
Aku harus keluar dari takut yang mengurungku meski tak mengenal apapun di luar atau aku terkubur beku di dingin sepi tanpa pengakuan.
Cinta dunia baru untukku. Percik api yang langsung menyambar, dan aku hangus begitu saja. Serasa menjadi abu, lalu itukah dosa? Atau proses yang menyisakan diriku sebagai seorang lelaki? Aku tak begitu memahaminya. Tapi cinta begitu hangat, begitu ramah sampai aku tak sadar jiwaku ditelanjangi dari rasa takut dan gelisah yang membalut. Dan yang hangus itu bukan aku, tapi rasa takut dan gelisah itu sendiri.
Kutemukan cinta itu pada setiap kelopak yang bertengadah, dulu terasa begitu jauh tapi sebenarnya dekat.