Rasanya lubang hitam itu ada di dalam matanya. Ratusan kali lebih kuat. Tiap kali aku menatapnya, kekuatan itu menarik perahtianku: jiwaku terjebak di dalamnya. Mungkin ini yang disebut kasmaran. Khayalku menguap, aroma bunga semerbak di mana-mana. Musim semi rupanya datang begitu cepat. Reranting tak bisa membendung dedaunan yang tumbuh, lebat dan semua membicarakan diriku. Aku pura-pura tidak tahu, tapi semua terus saja berusaha mengungkap apa isi hatiku.
Kalau benar ini cinta, maka semua benda mati hidup mengingkari takdir. Lantai ikut mengidentifikasi jejakku, barangkali ada data-data yang bisa diterjemahkan untuk mengetahui apa yang aku pikirkan. Dinding yang sebelumnya angkuh, dingin dan bisu, seketika menjadi amat cerewet dan berkali-kali melempari tanya, “Apa yang terjadi padamu?” Aku diam saja mengacuhkan semua pertanyaannya. Tapi mereka tak kunjung bosan dan tak kunjung berhenti dalam investigasi imajiner.
“Ini dunia apa?” Pikirku. Tiba-tiba saja berubah. Di tengah terik matahari, langit memberiku salju. Semua jadi indah. Tiap gerak, tiap gesekan memiliki bahasa yang kukenali, dan aku tak tahu bagaimana itu terjadi. Semua menjadi tampak lebih perhatian denganku, hal kecil dariku pun serasa berita yang jadi headline. Sekalipun itu imajiner, akulah pusat tata surya saat ini. Tapi,… di dunia kenyataan tidak seperti itu: aku sering bertemu dengannya, duduk bersama, namun terasa begitu jauh. Jika benda-benda mati itu tahu, maka mereka akan dapat bahan tertawa paling menggelikan. Mereka yang lembut perasaannya pasti akan iba seibanya.
Kenyataan seringkali tidak akrab dengan keinginanku. Lubang hitam itu menyeret semua akal sehatku, menghilangkan kejernihan pikir. Kelam rasanya Kawan.
“Aku ingin fokus kuliah, nggak mau mikirin hal gituan.” Baru itu yang kudengar saja, tata surya berhenti beredar, lalu seperti meluncur bersamaan menuju tubuhku yang hanya 166 cm ini. Remuk.
Pertama kali kubiarkan perasaan ini hinggap, ranting itu patah, pertama kali pula bau kegagalan tercium dari harapku yang menguap. Hidup ini kosong, udara lari dari alveolus menjadikan paru-paruku hampa. Darah berhenti untuk berkabung. Agak berlebihan, tapi musim semi melarikan diri, kemarau menggantikannya, daun-daun jadi kering dan berjatuhan menutupi keping-keping hatiku yang berhamburan. Serasa riwayatku khatam sampai di sini.
“Apa aku salah mencintai dia?” tanyaku dalam pilu. Tak ada yang menjawab, cuma angin yang cekikikan, lalu lari, yang lain menahannya, tapi terbaca olehku. Cinta seperti getaran yang merambat, dan milikku memantul di dinding yang sengaja dia buat dengan kokohnya. Senyumnya yang manis hanya sebatas bumbu persahabatan, perhatiannya cuma serupa pupuk yang menyuburkan keakraban. Awalnya dari data-data itu, kuperhitungkan 99 persen keberhasilan untukku. Namun Newton dengan teori probabilitasnya mengelurkan keputusan satu persen untuk kegagalan itu untukku. Malang sekali lelaki sepertiku.
Ini belum berakhir, ya baru permulaan. Hasil ini belum valid. Aku mencoba menguatkan diriku kembali. Menumbuhkan sayap yang patah untuk kembali terbang. Mengoreksi formula yang mungkin saja salah, membaca lagi situasi dengan benar, mengidentifikasi data-data akurat yang nantinya akan banyak membantu keberhasilan perjuangan cintaku. Ini cinta, baru saja lahir, setelah lebih dari seperlima abad bersembunyi di kalbuku. Aku harus memperjuangkannya, tak boleh menyia-nyiakannya.
Apa yang dia katakan hanyalah kerja dari filter yang dia miliki, tentu tidak sembarang orang bisa masuk, dan aku bukan orang sembarang itu, bukan orang yang lemah dan patah hanya karena ujian kecil. Cinta ini berarti bagiku, penemuan yang amat berharga. Aku tak mungkin membiarkannya berlalu begitu saja. Kukumpulkan lagi keping hatiku, kurekatkan dengan keyakinan yang bulat, aku tidak salah, hanya saja belum tepat waktunya. Tapi aku ingin mempercepat waktunya.
Dua tahun sudah aku hapal nama, sifat dan sikapnya. Meyla Larasati, gadis dengan mawar yang merekah di bibirnya, manis dan baik hati. Tapi dia lebih suka dipanggil Mee, aku tak pernah menanyakannya. Dia orang pertama yang kukenal saat aku masuk kuliah.
“Aku senang bisa kenal kamu” Kata Mee waktu itu. Dia perantau pemberani sekaligus aneh. Beberapa universitas ternama di Jawa yang menerimanya tidak dipedulikan, justru memilih Lampung, timbanya mulai diceburkan di Unila. Darinya aku tahu, perantauannya tidak diizinkan, tapi Mee berusaha berontak dengan agak konyol, mengintimidasi orang tuanya. Jika tidak diberi ijin dia akan nekat kabur dari rumah: taktik lama. Tapi orang tua mana yang tidak khawatir jika itu terjadi. Alasannya sederhana, Mee ingin mandiri, di Lampung tidak ada saudara satupun. Mempertimbangkan ancaman putri satu-satunya, orang tua Mee mengabulkan permintaan putrinya. Bagiku sendiri, ini tidak masuk akal, di Jawa dengan fasilitas pendidikan yang lengkap ditinggalkan Mee hanya dengan alasan ingin mandiri.
Dia tak pernah bisa memberi alasan yang memuaskan kepadaku dengan keputusan yang nyleneh itu. Tapi aku menghargai keputusannya itu. Setiap orang berhak mengambil keputusan, sekontroversi apapun tentu dengan segala resiko yang membuntutinya.
Beruntung sekali aku. Menjadi orang yang pertama dia kenal di Lampung. Dari situ aku sering menjadi mangkuk bagi cerita-cerita lezatnya, jadi saputangan yang dia bikin basah dengan air mata saat dia sedih. Aku partner sekaligus konsultan bagi setiap masalahnya, tentu di luar orang tua dan temannya dulu. Sepengetahuanku seperti itu.
Dia tidak berusaha menipu orang tua dan nuraninya. Aku sudah mengenal orang tuanya saat mereka datang menengok anak semata wayangnya itu. Saat itu juga aku seperti dikontrak untuk jadi mata-mata, tentu tanpa sepengetahuan Mee. Aku menyetujuinya. Dengan demikian aku bisa lebih dekat orang tuanya, juga dengan Mee. Ini yang disebut simbiosis mutualisme Kawan. Banyak hal yang kudapat darinya, banyak hal pula yang cukup menjadi alasan untuk aku jatuh cinta pada Mee.
Lagi-lagi aku masih beruntung, apalagi jika dibandingkan puluhan lelaki yang ditolaknya berkali-kali. Kalau hatiku remuk berkeping, mungkin hati mereka sudah menjadi debu. Tak hanya itu, aku orang yang pertama kali dicari Mee di kampus, begitu dekat dan kedekatan ini mungkin sudah diterjemahkan lain olehnya. Mee menganggapku kakaknya. Satu-satunya orang yang dia anggap paling mengerti dirinya, yang dia anggap paling nyaman untuk diajak ngobrol akan berbagai hal. Ternyata kedekatanku sudah masuk ke ranah itu, aku tidak menyangka. Pantas saja dia tertawa saat aku mengungkap isi hatiku.
“Aku sayang kamu Di, seperti adik menyayangi kakaknya. Aku serasa menemukan sosok kakak, dan itu kamu”
“Apa nggak bisa lebih dari itu?" Tanyaku lagi
“Sayangku padamu sudah satu tingkat di bawah sayangku pada orang tuaku. Mau di atasnya lagi…?” jawabnya dengan lembut dan senyum yang manis.
Kali ini aku tahu, cinta bukanlah pemerasan perasaan. Cinta sejati akan jatuh sebagaimana buah durian jatuh, jika buah itu jatuh dengan sendirinya, maka rasanya akan jauh lebih manis. Kucoba memahaminya, kucoba menjelaskan kenyataan ini pada diriku yang sebelumnya lemah untuk tidak lagi terpuruk. Cinta akan diberi oleh tangan ketulusan dengan sendirinya, tanpa harus memaksa. Aku harus berhenti sementara, bukan masalah putus asa, ini masalah waktu. Setidaknya aku sudah bisa mendekap hatinya.