Seperlima abad adalah diameter waktuku. Selama itu darahku masih mengalir membasahi daratan yang kering
Seperlima abad, aku melangkah dalam takdir yang getir. Menelan kenyataan pahit pada pesta-pesta perampokan mimpi dan harga diri. Di dekatku, jelas sekali kulihat. Kekayaan adalah milik penguasa. Orang-orang kecil hanya tersisa remah-remahnya. Dalam rasa lapar tak bisa berbuat apa-apa.Menunggu datang duka dan kematian
Dalam rasa yang tergkagum-kagum, adalah kesalahan yang besar terhadap apa yang tak pernah kita yakini sebelumnya
Mata hanya dapat mengungkap secuil rahasia. Tapi jiwa telah cukup merintih atas goresan kecewa tak bertanggungjawabnya birokrasi yang tak merakyat.
Ah, aku seringkali hanya menyalahkan orang lain. Padahal dalam diriku sendiri terdapat kesalahan fatal: malas.
Seperlima abad seperti berlalu begitu saja, seperti kemalasan yang tak memberi banyak hal padaku, selain berkeluh. Dunia makin kencang berputar, aku sendiri goyah tanpa sandaran jelas. Terkatung-katung menghadapi nasib.
Harus bangkit atau tetap menjadi remah-remah jaman.
Suatu saat, waktu yang kubuang akan menjadi penyesalan mendalam yang tidak bisa ditukar dengan apapun.
Aku harus menjadi sesuatu yang hebat, atau hanya akan dicampakkan dalam catatan usang penyesalan. Tidak, perubahan harus terjadi. Keluh kesah harus berganti dengan semangat penuh daya hidup.
Masa depan menjadi hak semua orang, termasuk diriku. Jika berusaha!