Perlu kiranya tetap bersikap tenang dan hati-hati dalam menanggapi setiap pernyataan yang melompat dari pikiran orang lain. Karena bisa jadi itu adalah lompatan kuda pada papan catur. Tak lain tujuannya adalah "Skak Mat!"
Saya mulai menghilangkan sikap lama yang saya miliki, mudah percaya dan terbuai pada kata-kata orang lain, mudah kagum dan mengikuti arus. Sebuah fakta menarik yang saya temukan, bahwasanya tidak semua kata-kata yang saya dengar berdiri di atas obyektifitas seseorang. Apalagi jika seseorang berkata tentang hal yang sensitif, maka saya akan mencari sudut pandang yang menampilkan kejernihan dari maksud dan tujuan, sehingga kata-kata itu tampil menyodorkan elegansinya sekaligus mengaktifkan magnet emosional tidak serta merta dapat membuai perasaan.
Seperti berita yang tak habis dibahas adalah perkara Ahok. Sebenarnya saya sudah lama mual mendengar banyak silang pendapat terkait sosok Gubernur Jakarta ini.
Di Wall Facebook, bertebaran argumen yang saling berlawanan arus dan melahirkan konflik pemikiran dan juga perasaan. Sebagian terlihat Pro, sebagian lagi tegas bersikap kontra, sedang sisanya menyingkir menghindar konflik sosial ini.
Dan saya berada pada bagian sisa, yang sebenarnya juga mengalami perang batin atas pro kontra yang mencuat.
Saya berkeyakinan--meski harus tetap berasas praduga tak bersalah--bahwa pro kontra ini berdiri di atas kepentingan masing-masing. Karena perihal kejujuran dan isi hati, Tuhan sajalah yang tahu.
Walaupun begitu, manusia memang tidak lepas dari kepentingan. Yang jelas adalah kepentingan yang mana yang menjadi alasan kita berdiri di suatu posisi bersikap?
Kepentingan pribadi, golongan ataukah kebaikan bersama?
Saya berusaha membersihkan akal dari keberpihakan yang cenderung mudah kagum, mudah benci dan ambisius. Kecenderungan itu akan berdampak pada ketidakobyektifan dalam menilai.
Saya diajarkan untuk tidak membenci orang, karena suatu saat orang yang saya benci bisa jadi lebih baik dari saya sendiri. Saya hanya dapat menilai orang dari sikapnya, baik atau tidak, benar atau salah, tentu dengan dasar yang sedekat mungkin mengarah pada norma kebaikan.
Selain kebencian, sikap fanatik juga tidak baik, karena akan mengeraskan hati. Hati yang sudah keras akan melahirkan sikap merasa paling benar. Kalau sudah pada tahap merasa paling benar, maka titik ini sudah fatal.
Kembali kepada Ahok. Banyak orang mengatakan dia adalah sosok yang tegas dan berani. Tapi tidak ada manusia yang lepas dari kesalahan. Dia terlihat kurang mampu mengendalikan emosi yang meluap. Hal ini akan memancing respon negatif bahkan menjadi pemicu konflik, baik itu murni ataupun didasari agenda tertentu. Bagaimanapun, manusia harus hati-hati dalam bersikap, karena akan selalu ada yang bertentangan dan menyimpan misi khusus.
Kabarnya setelah isu yang meluas itu, Ahok mengerem kesalahannya tersebut.
Manusia memang harus mengubah pada kondisi menuju lebih baik, tanpa berhenti hingga batas akhir kemampuan berubah.
Meskipun bukan warga DKI, saya selalu mendukung orang-orang yang beritikad dan berikhtiar bagi kebaikan membangun daerah, di manapun itu. Walau dalam kadar mendoakan saja.
Lalu, mengapa isu sara di Jakarta menjadi panas?
Jakarta merupakan etalase yang paling menarik untuk dilihat, panggung paling ramai yang memunculkan tokoh-tokoh besar, tempat yang dengan cepat dapat melambungkan nama, dan berderet list menggiurkan yang ditawarkan dari sebuah ibukota.
Sulit untuk mengatakan jika isu Ahok tidak lepas dari agenda politik. Jika murni tentang agama, tidak cukupkah permintaan maaf yang telah diucap?
Apa ada kebencian yang begitu mendalam? Bukankah kebencian itu juga dilarang oleh agama?
Jika melihat demo berjilid-jilid di media, tampak ada kepentingan yang ambisius bersembunyi di belakangnya. Apalagi dalam musim pilkada.
Tapi itulah demokrasi, siapa saja berhak mengeluarkan suara.
Pada akhirnya, saya senang Ahok kalah.
Sehingga suasana panas ini akan segera berakhir. Karena saya yakin dalam keputusan hakim pada sidang yang akan datang kesulitan untuk tidak membebaskan Ahok. Jika Ahok menang, memiliki potensi besar terjadi demo lagi.
Tidak ikut demo saja saya lelah melihatnya.
Biarlah yang pro Ahok bersedih, namun kedamaian harus tetap terjaga dengan ada yang berkorban penuh kesatria.
Saya tidak tahu siapa yang kekanak-kanakan.
Semua harus bersikap dewasa memandang hal ini, dan mengambil hikmah besar yang tidak hanya direnungkan tapi diresapi dan dipelajari. Bahwa manusia tidak luput dari salah.