-->

Kumpulan Puisi Karya W.S. Rendra

Kumpulan Puisi Karya W.S. Rendra

Willibrordus Surendra Broto atau lebih dikenal dengan W.S. Rendra merupakan seorang penyair dan dramawan terkenal di Indonesia. W.S. Rendra dilahirkan di Solo, 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun.

Kumpulan puisinya: Ballada Orang-orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Orang-orang dari Rangkasbitung (1992), Potret Pembangunan dalam Puisi (1993) dan Disebabkan oleh Angin (1993). Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten van een Dichter, Rendra: Ballads and Blues Poem, State of Emergency.

Kumpulan cerpennya: Ia Sudah Bertualang (1993).

Penyair yang dijuluki Burung Merak ini juga terkenal sebagai dramawan. Ia mendirikan Bengkel Teater dan mementaskan banyak lakon teater.

W.S. Rendra menempuh pendidikan di SMA St. Josef, Solo. Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967).

Penghargaan yang pernah diterima : Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996), Penghargaan Achmad Bakri (2006).


Tuhanku

wajah-Mu membayang di kota terbakar
dan firman-Mu terguris di atas ribuan
kuburan dangkal.

Anak menangis kehilangan bapa.
Tanah sepi kehilangan lelakinya.
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia.

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali bicara.
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku memasukkan sangkurku.

Malam dan wajahku
adalah satu warna.
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.

Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
biarpun bersama penyesalan.

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua tangan-Mu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianati-Mu.
Tuhanku.
Erat-erat kugenggam senapanku.
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku.


Aku Tulis Pamplet Ini

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah.
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng-iya-an.

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput esok pagi.
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki,
menjadi marabahaya,
menjadi isi kebon binatang.

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam.
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan.
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair.
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendara-bendara semaphore di tanganku.
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah.
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara.
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca:
ternyata kita, toh, manusia!

Pejambon, 27 April 1978


Sajak Burung-burung Kondor

Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani-buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang melimpah dan makmur,
namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjelma menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
mengapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan.
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan di sana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu mengisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit.
Tersingkir ke tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit,
di batu-batu gunung menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.

Yogya, 1973


Orang-orang Miskin

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu hindarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik jadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah:
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim.

Yogya, 4 Februari 1978


Nota Bene: Aku Kangen

Lunglai – ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan di langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Adapun mata kita akan teus bertatapan hingga berabad-
abad lamanya.

Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan.
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggetarkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan kepadamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

Kotabumi, 24 Maret 1978

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong,
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka.

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………………………….
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan.

Dan di langit;
Para teknokrat berkata:
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun,
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor.

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala.
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
…………………………………
Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku.
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkunga.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

I.T.B. Bandung, 19 Agustus 1977


Lautan

Daratan adalah rumah kita
dan lautan adalah kebebasan.
Langit telah bersatu dengan samodra
dalam jiwa dan dalam warna.

Ke segenap arah
berlaksa-laksa hasta
di atas dan di bawah
membentang warna biru muda.
Tanpa angin
mentari terpancang
bagai kancing dari tembaga.

Tiga buah awan yang kecil dan jauh
berlayar di langit dan di air
bersama dua kapal layar
bagai sepasang burung camar
dari arah yang berbeda.
Sedang lautan memandang saja.
Lautan memandang saja.

Di hadapan wajah lautan
nampak diriku yang pendusta.

Di sini semua harus telanjang
bagai ikan di lautan
dan burung di udara.
Tak usah bersuara!
Janganlah bersuara!
Suara dan kata terasa dena.

Daratan adalah rumah kita,
dan lautan adalah rahasia.

Kebun Belakang Rumah Tuan Suryo

Di tempat yang lama
aku teringat lagi
akan segala kesedihankku
yang telah lalu.
Di kebun rumah tetangga ini
di mana aku biasa bersembunyi
aku terkenang lagi
Willy yang kecil
menangis tersedu.
Pohon-pohon di sini masih seperti dulu
cuma lebih tua, lebih akrab, dan tahu.
Pohon mangga, pohon nangka, dan pohon randu.
Di pokok menempel lumutan dan di dahan benalu.
Pagarnya bunga merak, bunga sepatu dan rumput perdu.
Semuanya masih ada di sini
dan sekarang dengan akrab
Kami berpandangan lagi.

Kepada pohonan di sini aku biasa berlari
dan dengan aman aku uraikan
segala duka yang aku rahasiakan
segala tangis yang kusembunyikan
dan bahkan kasmaran yang pertama.
Mereka tahu memegang rahasia
dan selalu sabar
memandang kelemahan.

Melihat tanah di sini yang kelabu
dan mendengar daun berisik di dahan-dahan
aku terkenang lagi
Willy yang kecil
menangis tersedu.
Tapi menyenangkan juga mengenangkan
bahwa akhirnya satu demi satu
berpuluh kesedihan
telah terkalahkan.


Masmur Pagi

Kata-kata masmur ini
timbul dari asap dapur
yang mengepul ke sorga
dan di atas tungku dapur itu
istriku merebus susu –
rahmat-Mu yang pertama.
Kata-kata masmur ini
lari ke lembah-lembah
dan di tepi cakrawala
mereka kawini sepi
yang lama menantinya.
Lembu-lembu masuk ke air
mengacau air yang jernih
menentang senja
dan hari kiamat.
Maka
di udara yang segar
bersebaranlah bau minyak wangi
dari jubah malaekat,
Tubuh-Mu yang indah
Kaubaringkan di gunung yang tinggi
dan nampaklah dari bawah
bagai awan mandi cahaya.
Bebek-bebek pun bertelor
kerna Kaujamah dengan tangan-Mu.
Ikan-ikan jumpalitan dalam air
dan padi melambai-lambai
menegur-Mu.
Pohon-pohon cemara di gunung
menggelitiki tapak kaki-Mu
dengan cara yang jenaka.
Kau pun lalu bangkit
pindah ke lain cakrawala
menggeliat dan bersenam indah
lalu melangkah menaiki matahari,
mendaki, mendaki,
mengeringkan celana dan bajuku
yang dicuci oleh istriku.

Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu.
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang.
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita.
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh.
Hidup adalah untuk mengolah hidup,
bekerja membalik tanah,
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kerna sesungguhnya kita bukan debu
meski kita telah reyot, tuarenta, dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porakporanda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna tersenyum adalah suatu kedok.
Tetapi kerna tersenyum adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna!
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.


Hotel Aichun, Canton

Dalam siang yang tentram
kubuka jendela lebar-lebar
menangkap hawa luar.
Langit yang ramah
dan sejalur ranting leci
membayang nampak pada kaca
di daun jendela.
Lonceng pun berbunyi
dua belas kali.
Dan kipas listrik berputar.
Serba tenang, serba tentram.

Ketika menengok ke bawah
nampak orang-orang yang lamban kepanasan
di jalan batu bata.
Serta lebih jauh lagi
nampaklah Sungai Mutiara
yang lebih payah dari semuanya.
Payah tapi damai.

Tirai sutra Cina penuh berbunga
menambah indah kamar ini.
Dan aku berdandan
di depan lemari berkaca yang besar
serta penuh ukiran naga.
Dalam sepi dan damai.

Sekarang aku merasa tentram
setelah semalam bergulat dalam diri
dan meredakan rindu dengan mengerti.
Tentu
masih juga mengenangkan
tanah kelahiranku
tetapi bersama kesabaran.
Tanpa menulis sajak-sajak
tanpa bertekun di atas buku
aku ingin memuasi sepi.
Dan sambil membuat lingkaran-lingkaran
dengan asap rokok
kunikmatilah sebuah istirah
yang lumayan.

Jalan Sagan 9, Yogya

Ketika kebetulan lalu
aku mampir ke kamar kita yang dulu.
Sekarang belum lagi disewa.
Kamar kita berdua
dengan bunga pada meja
tempat kita saling memandang
berhawa kasih sayang.

Memasuki kamar ini
tembok dan lantai kembali bicara
dan hidupku terasa tambah berharga.
Kukenangkan kembali
bagaimana dulu kujamah rambutmu
sementara engkau bertanya
berapa jumlah pacarku.
Lalu di lantai yang sejuk
dan juga bersih kerna kau sapu
kita akan bertiarap atau berbaringan
sambil menggambar dengan kapur
semua gambar yang lucu-lucu
atau rumah yang kita angankan.

Pernah pula kaugambar dua orang berdampingan
sambil kautunjuk mereka:
“Ini kau. Ini aku.”
Lalu saya gambar selusin orang di kanan kirinya.
Kau merengut dan bertanya:
“Siapa mereka?”

Aku menjawabmu: “Anak-anak kita!”
Ketika kau tertawa
terberailah rambut-rambut halusmu
ke pipi dan ke dahimu.
Waktu itu aku gemar memandang matamu
dan melihat diriku terkaca di dalamnya.
Kekasihku,
ada saat-saat kita tak berdaya bukan oleh duka
tetapi kerna terharu semata.
Mengharukan dan menyenangkan
bahwa sementara kita tempuh hari-hari yang keras
sesuatu yang indah masih berada
tertinggal pada kita.
Sangat mendebarkan
menemukan satu bunga
yang dulu – telah lama
kitalah penanamnya.


Rumah Andreas

Setelah semalam pesta larut
kami bangun ketika matahari sudah sama tinggi
dengan jendela.
Waktu itu hari minggu.
Nyonya Andreas mengajak kami sarapan
di kebun di belakang rumahnya.
Semua sudah tersedia.
Kursi kebun warna-warni.
Di atas rumputan yang hijau
dikelilingi selusin pohonan.
Dan di atas meja fantastis yang jambon
tersedialah cangkir-cangkir kopi
buah-buahan, roti, dan poci-poci.
Putra Andreas telah menunggu membaca koran
dalam baju militer, kerna ia Kapten.
dengan pakaian yang rapi saya datang
menemui Kapten dan buah-buahan,
rumputan dan pohonan,
burung-burung dan langit pagi,
warna merah, kuning, jambon, dan segala warna-warni,
serta roti, serta kopi.
“Ali Khan berniat kawin lagi.”
Kata Kapten sambil menuang kopi.
Waktu itu saya sedang memenuhi paru-paru
dengan hawa sejuk kota pegunungan.
Saya tak menjawab apa-apa.

Tuan Andreas dan nyonya datang
ketika saya tengah asyik memandang
rumahnya yang bertingkat dua
dengan jendela-jendela yang bertirai ungu.

“Willy betul sudah mandi?” tanya Andreas
Saya menguap dan tertawa.
Rambut Willy selamanya begitu.
Seperti daun cemara.”
Begitu istrinya bercanda.

“Kita mesti kembali ke jiwa revolusi!”
kata Andreas pada putranya.
Saya melihat ayam berkokok di atas pagar
betinanya mengaisi tanah.
Dan dua ekor angsa
berjalan malas turun ke kolam.
Lamban. Tanpa jiwa. Fana.

“Mobil Ford tahun ini kurang sentosa nampaknya!”
Kata Nyonya Andreas memancing perdebatan.
Saya asyik mengamati
terali balkon yang dibentuk bagai leli.
Dingin dan jelita. Fana.

“Pucuk cemara kadang-kadang seperti tangan jauh yang melambai.”
Kataku tanpa memalingkan muka.
“Saya akan menuntut lebih banyak keadilan bagi wanita.”
Terdengar orang lain bersuara pula.
Nyonya Andreas bersuara.
Bunga trembesi yang gugur
berpusing-pusing sebentar di udara
bagaikan kupu-kupu.
Gugur ke bumi. Rebah ke bumi. Fana.

Rumah besar itu berkapur putih
dan jendelanya bercat kelabu.
“Saya tahu,” kata Andreas
“Willy sedang memikir sebuah soneta!”
“Kau pikir begitu?” canda istrinya.
Saya menguap, memandang meja dan berkata:
“Saya sedang berpikir di mana ada mrica.”
Mereka berbareng tertawa
dan sang istri pergi
mengambil mrica.

Mulut terbuka untuk tertawa.
Mulut terbuka, makan dan pesta.
Mulut terbuka, menguap fana.
Cendawan subur tanpa jiwa.


A Landscape for Dear Victor

Apabila kita bertiarap di bukit yang damai
kita mengarah lembah
dengan gelagah dan semak-semak berbunga.
Di langit yang bersih terpancanglah matahari
sepanjang tahun selalu bercaya.
Maka angin lembah
bertiup dengan merdeka.
Suara yang gaib memanggilku
Tangan yang gaib memanggilku.

Sebatang sungai yang putih sebagai pita
mengalir jauh ke tengah
selalu bernyanyi bagai sediakala
sedang jalan kereta api menjalar di sebelahnya.
Keretanya lewat dengan asap yang jenaka
mencorengkan warna kelabu di udara
disapu angin kemarau
dalam permainan dan semangat remaja.

Permainan dan derita bangsaku.
Lebih jauh lagi
setelah warna hijau dan putih ini
bumi berwarna kuning kerna padi telah menua
dan di bawah matahari jerami berwarna bagai tembaga.
Orang-orang yang coklat bergerak di tanah coklat.
Mereka bekerja dan mencumbu tanahnya.
Maka sambil menghadap kesuburan
rumah-rumah di kiri berjongkok dengan tentram.
Tempat berpagut jiwa bangsaku.

Bagai titik-titik beragam seratus warna
berterbanganlah burung-burung dan kupu-kupu
malaikat kehidupan dari bumi.
Dan sebuah jalan yang kelabu
dari kanan menuju ke cakrawala
menuju kota.
Mobil yang kecil dan biru
lewat di atasnya.

Suara yang gaib memanggilku.
Tangan yang gaib melambaiku.
Tangan bangsa ini harus dikepalkan.
Bukit dan lembah ini harus bermakna.
Harus diberi makna.

Di kali perempuan telanjang dan mencuci
mereka suka bernyanyi tentang harapan yang sederhana
dan tentang kerja lelakinya.
Sedang di tepi sungai
rumpun bambu bergoyangan.

Viktor yang baik,
percik darah yang pertama
di bumi ini tumpahnya.


Sungai Musi

Memasuki Sungai Musi kuulurkan tanganku pada alam
Melewati jalan yang baru bagai menempuh jalan yang sangat kukenal.
Tak usah lagi berkenalan, karena bertemu wajah-wajah yang lama.
Kami disatukan satu gelora, kesunyian dan duka.
Maka dalam tatapan yang pertama telah diketahuilah semuanya.
Air yang coklat mengalir lambat bagai mengangkat derita yang sarat.
Pimping air yang bergoyang dan cepat berbiak
cepat kukenal dalam satu pandang
kerna mereka tak lebih dari sepi.
Bakau besar yang berjenggot serta penuh keangkeran
cepat sejiwa dalam satu teguran
kerna ia tak lain dari duka.
Wajah air yang berpendar-pendar dan lesu dalam rupa
cepat akrab dalam satu usapan
kerna ia bukan apa selain wajah yang fana.
Disatukan oleh satu gelora kami bergumul dalam keakraban
pada masing pihak menemu belaian dan hiburan.
Makin banyak kami minum sepi kami pun makin mengerti.
Maka sambil melayangkan pandangan yang jauh
hanyutlah segala rasa yang gelisah.
Burung-burung menempuh angin yang lembut serta lemah.
Aku menempuh duka yang kian lembut, kian lemah.

Mancuria

Di padang-padang yang luas
kuda-kuda liar berpacu.
Rindu dan tuju selalu berpacu.

Di rumput-rumput yang tinggi
angin menggosokkan punggungnya yang gatal.
Di padang yang luas aku ditantang.

Hujan turun di atas padang.
Wahai, badai dan hujan di atas padang!

Dan di cakrawala, di dalam hujan
kulihat diriku yang dulu hilang.

Kesaksian Bapak Saijah

Ketika mereka bacok leherku,
dan parang menghunjam ke tubuhku
berulang kali,
kemudian mereka rampas kerbauku,
aku agak heran
bahwa tubuhku mengucurkan darah.
Sebetulnya sebelum mereka bunuh
sudah lama aku mati.

Hidup tanpa pilihan
menjadi rakyat Sang Adipati
bagaikan hidup tanpa kesadaran,
sebab kesadaran dianggap tantangan
kekuasaan.

Hidup tanpa daya
sebab daya ditindih ketakutan.
Setiap hari seperti mati berulang kali.
Setiap saat berharap menjadi semut
agar bisa tidak kelihatan.

Sekarang setelah mati
baru aku menyadari
bahwa ketakutan membantu penindasan,
dan sikap tidak berdaya
menyuburkan ketidakadilan.

Aku sesali tatanan hidup
yang mengurung rakyat sehingga tak berdaya.
Meski tahu akan dihukum tanpa dosa,
meski merasa akan dibunuh semena-mena,
sampai saat badan meregang melepas nyawa,
aku tak pernah mengangkat tangan
untuk menangkis atau melawan.
Pikiran dan batin
tidak berani angkat suara
karena tidak punya kata-kata.

Baru sekarang setelah mati
aku sadar ingin bicara
memberikan kesaksian.

O, gunung dan lembah tanah Jawa!
Apakah kamu surga atau kuburan raya?
O, tanah Jawa,
bunda yang bunting senantiasa,
ternyata para putramu
tak mampu membelamu.

O, kali yang membawa kesuburan,
akhirnya samudera menampung air mata.
Panen yang berlimpah setiap tahun
bukanlah rezeki petani yang menanamnya.

O, para Adipati Tanah Jawa!
Tatanan hidup yang kalian tegakkan
ternyata menjadi tatanan kemandulan.
Tatanan yang tak mampu mencerdaskan
  bangsa.
Akhirnya kita dijajah oleh Belanda.
Hidup tanpa pilihan
adalah hidup penuh sesalan.
Rasa putus asa
menjadi bara dendam.
Dendam yang tidak berdaya
membusukkan kehidupan.
Apa yang seharusnya diucapkan
tidak menemukan kata-kata.
Apa yang seharusnya dilakukan
tidak mendapat dorongannya.

Kesaksianku ini
kesaksian orang mati
yang terlambat diucapkan.
Hendaknya ia menjadi batu nisan
bagi mayatku yang dianggap hilang
karena ditendang ke dalam jurang.

Depok, 17 Januari 1991


Doa Orang Lapar

Kalaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam.
Jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam.
O Allah!
Burung gagak menakutkan.
Dan kelaparan adalah burung gagak.
Selalu menakutkan.
Kelaparan adalah pemberontakan.
Adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin.
Kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur.
Adalah mata air penipuan.
Adalah pengkhianat kehormatan.
Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat  bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
Kelaparan adalah iblis.
Kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran.
O Allah!
Kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin.
O Allah!
Kami berlutut.
Mata kami adalah mata-Mu.
Ini juga mulut-Mu.
Ini juga hati-Mu.
Dan ini juga perut-Mu.
Perut-Mu lapar, ya Allah.
Perut-Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca.
O Allah!
Betapa indahnya sepiring nasi panas,
semangkuk sop dan segelas kopi hitam.
O Allah!
Kelaparan adalah burung gagak.
Jutaan burung gagak
bagai awan  yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga-Mu!


Doa Malam

Allah di sorga.
Dari rumah bambu sempitku
di malam yang dingin
tanganku yang rapuh
menggapai sorga-Mu.
Aku akan tidur di mata-Mu
yang mengandung bianglala
dan lembah kasur beledu.
Ketika angin menyapu rambut-Mu
yang ikal dan panjang
aku akan berlutut
di pintu telinga-Mu
dan mengucapkan doaku.
Doa adalah impian
dan segala harapan insan.
Di dalam doa aku bisikkan impianku.
Apakah kau tertawa lucu?
Anakku yang kecil
memanjat jubah-Mu
dan tidur di dalam saku-Mu
Sedang bulan di atas pundak-Mu
Istriku masuk ke dalam darah-Mu.
Ketika Engkau mengucapkan selamat malam
bunga-bunga kertas aneka warna
berhamburan dari mulut-Mu.
Dan untuk anakku.
Kausediakan balonan biru.
Bintang-bintang bertepuk tangan
dan serangga malam riuh tertawa
semua mengagumi-Mu:
Tukang Sulapan Tak Bertara.
Lalu Kauangkat tangan-Mu berpospor
gemerlapan, tinggi-tinggi, gemerlapan.
Dan itu berarti: selamat tidur
sampai ketemu esok hari
dengan sulapan yang lain dan baru.

Datanglah, Ya Allah

Aku datang kepada-Mu, ya Allah
dengan tangan terentang dan muka ke tanah.
Aku datang kepada-Mu, ya Allah
bila habis segala daya
dan jiwa terpesona.
Datanglah pula Kau padaku, ya Allah!
Datanglah Kau padaku, wahai,
Tanya Dari Segala Tanya!
Lihatlah tanganku yang terpesona.
Lihatlah jantungku yang berdebar dengan gemas.
Wahai, berdaginglah Engkau
maka tanganku akan meremas-Mu.
Adakah mata-Mu mentari atau bulan?
Adakah Kau dendam atau Pengampunan?
Adakah Kau pembalasan atau Ciuman?
Menataplah Kau padaku, ya Allah!
Lihatlah kerinduanku untuk mengerti
gemetar kakiku menahan guyah
dan keakraban bagiku
adalah damba dari segala damba.

Allah! Allah! Allah!
Engkaulah kijang emas
menyelinap antara pohonan di hutan.
Engkaulah keindahan dan kegesitan.
Lihatlah, jantungku berdebar dengan gemas.
Engkaulah bulan di balik cemara,
burung penyanyi di dalam belukar,
dan puteri Cina yang jelita
bersembunyi di balik kipasnya.
Lihatlah, kerinduanku, ya Allah.

Kerinduan, kegemasan, damba dan pesona.
Ungkaplah diri-Mu padaku, wahai,
Tanya Dari Segala Tanya.
Sedemikian agung dan besar-Mu
Sehingga tetap menjadi tanya.


Gereja Ostankino, Moskwa

Menaranya cukup tinggi
tapi menggapai sia-sia.
Pintunya mulut sepi
rapat terkunci
derita lumat dikunyahnya.

Sebuah Restoran, Moskwa

Melalui caviar dan vodka
kami langgar sepuluh dosa.
Di atas kain meja yang putih
terbarut tindakan yang sia-sia.
Botol-botol anggur yang angkuh
dan teman wanita yang muda
adalah hiasan malam yang terasa tua.
Hari-hari yang nampak koyak-moyak
disulam dengan manis oleh wajahnya.
Dalam kepalsuan
kami berdua bertatapan.
Bahunya yang halus berkilau biru
oleh cahaya lilin dan lampu.
Pintu-pintu berpolitur
dengan tirai untaian merjan.
Sementara musik berbunyi
jam berapa kami tak tahu.
Di atas kursi Prancis
kami bertukar senyum
dan tahu
masing-masing saling menipu.
Dengan gelas-gelas yang tinggi
kita membunuh waktu
dalam dosa.
Bila begini:
manusia sama saja dengan cerutu
bistik atau pun whiski-soda
berhadapan dengan waktu
jadi tak berdaya.

Sajak Tahun Baru 1990

Setelah para cukong berkomplot dengan
para tiran,
setelah hak asasi di negara miskin ditekan
demi kejayaan negara maju,
bagaimanakah wajah kemanusiaan?

Di jalan orang dibius keajaiban iklan
di rumah ia tegang, marah dan berdusta.
Impian mengganti perencanaan.
Penataran mengganti penyadaran.

Kota metropolitan di dunia ketiga
adalah nadi
dari jantung negara maju.
Nadi yang akan mengidap kanker
yang akan membunuh daya hidup desa-desa
dan akhirnya, tanpa bisa dikuasai lagi,
menjadi jahat, hina dan berbahaya.
Itulah penumpukan yang tanpa peredaran.

Tanpa hak asasi tak ada kepastian
kehidupan.
Orang hanya bisa digerakkan
tapi kehilangan daya geraknya sendiri.
Ia hanyalah babi ternak
yang asing terhadap hidupnya sendiri.
Rakyat menjadi bodoh tanpa opini.
Di sekolah murid diajar menghafal
berdengung seperti lebah
lalu akhirnya menjadi sarjana menganggur.
Di rumah ibadah orang nyerocos menghafal
dan di kampung menjadi pembenci
yang tangkas membunuh dan membakar.
Para birokrat sakit tekanan darah
Sibuk menghafal dan menjadi radio.
Kenapa pembangunan tidak berarti
kemajuan?
Kenapa kekayaan satu negara
membuahkan kemiskinan negara tetangganya?

Peradaban penumpukan tak bisa
dipertahankan.
Lihatlah: kemacetan, polusi dan erosi!
Apa artinya tumpukan kekuasaan
bila hidupmu penuh curiga
dan takut diburu dendam?
Apa artinya tumpukan kekayaan
bila bau busuk kemiskinan
menerobos jendela kamar tidurmu?
Isolasi hanya menghasilkan kesendirian
tanpa keheningan.
Luka orang lain adalah lukamu juga.

Sedangkan peradaban peredaran tak bisa
dibina
tanpa berlakunya hak asasi.
Apa artinya kekayaan alam
tanpa keunggulan daya manusia?
Bagaimana bisa digalang daya manusia
tanpa dibangkitkan kesadarannya
akan kedaulatan pribadi
terhadap alam
dan terhadap sesamanya?

Wajah-wajah yang capek
membayang di air selokan
dan juga di cangkir kopi para cukong.
Bau kumuh dari mimpi yang kumal
menyebar di lorong-lorong pelacuran
dan juga di bursa saham.

Sungguh
Apa faedahnya kamu jaya di dalam
kehidupan
bila pada akhirnya kamu takut mati
karena batinmu telah lama kamu hina?

Depok, 27 Desember 1989


Demi Orang-orang Rangkasbitung

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera!
Nama saya Multatuli
Datang dari masa lalu.
Dahulu abdi Kerajaan Belanda,
ditugaskan di Rangkasbitung,
ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupadi mereka sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa,
dan hak pribadi diperkosa.

Demi kepentingan penjajahan,
Kerajaan Belanda bersekutu dengan
kejahatan ini.
Sia-sia saya mencegahnya.
Kalah dan tidak berdaya.

Saya telah menyaksikan
bagaimana keadilan telah dikalahkan
oleh para penguasa
dengan gaya yang anggun
dan sikap yang gagah.
Tanpa ada ungkapan kekejaman
di wajah mereka.
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.

Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari Minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
menghindari perkataan kotor,
dan selalu berbicara
dalam tata bahasa yang patut,
sambil membanggakan keuntungan besar
di dalam perdagangan kopi,
sebagai hasil yang efisien
dari tanam paksa di tanah jajahan.
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.
Ya, begitulah.
Kami selalu mencuci tangan sebelum makan
dan kami meletakkan serbet
di pangkuan kami.
Dengan kemuliaan yang sama pula
ketika kami memerintahkan para marsose
agar membantai orang-orang Maluku dan
orang-orang Java
yang mencoba mempertahankan
kedaulatan mereka!
Ya, kami adalah bangsa
yang tidak pernah lupa mencuci tangan.

Kita bisa menjadi sangat lelah
apabila merenungkan gambaran kemanusiaan
dewasa ini.
Orang Belanda dahulu
juga mempunyai keluh kesah yang sama
apabila berbicara tentang keadaan mereka
di zaman penjajahan oleh Spanyol.
Mereka memberi nama yang buruk
kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.
Tetapi sekarang pakah mereka lebih baik
dari Pangeran yang jahat itu?

Tentu tidak hanya saya
yang merasa gelisah
terhadap dawat hitam
yang menodai iman kita.
Pikiran yang lurus menjadi bercela
karena tidak pernah bisa tuntas
dalam menangani keadilan.
Sementara waktu terus berjalan
dan terus memperlihatkan keluasan
keadaannya.
Kita tidak bisa seimbang
dalam menciptakan keluasan ruang
di dalam pemikiran kita.
Memang kita telah bisa berpikir
lebih canggih dan kompleks,
tetapi belum bisa lebih bebas
tanpa sekat-sekat
dibanding dengan keluasan waktu.
Bagaimana keadilan bisa ditangani
dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat?
Ya, saya rasa kita memang lelah.
Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.

Bukankah keadaan keadilan di sini
belum lebih baik dari zaman penjajahan?
Dahulu rakyat Rangkasbitung
tidak mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati Lebak.
Sekarang
apakah rakyat kecil
sudah mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati-adipati masa kini?
Dahulu
Adipati Lebak bisa lolos dari hukum.
Sekarang
Adipati-adipati yang kejam dan serakah
apakah sudah bisa dituntut oleh hukum?
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga
sudah merdeka?
Apakah bangsa tanpa hak hukum
bisa disebut bangsa merdeka?

Para pemimpin negara-negara maju
bisa menitikkan air mata
apabila mereka berbicara tentang democratie
kepada para putranya.
Tetapi dari kolam renang
dengan sangat santai dan penuh kewajaran
mereka mengangkat telefoon
untuk memberikan dukungan
kepada para tiran dari negara lain
demi keuntungan-keuntungan materi bangsa
mereka sendiri.

Oh! Ya, Tuhan!
Saya mengatakan semua ini
sambil merasakan rasa lemas
yang menghinggapi seluruh tubuh saya.
Saya mencoba tetap bisa berdiri
meskipun rasanya
tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya.
Saya sedang melawan perasaan sia-sia.
Saya melihat
negara-negara maju memberikan
bantuan ekonomi.
Dan sebagai hasilnya
banyak rakyat dari dunia berkembang
kehilangan tanah mereka,
supaya orang kaya bisa main golf,
atau supaya ada bendungan
yang memberikan sumber tenaga listrik
bagi industri dengan modal asing.
Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,
mendapat ganti rugi
untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya
dengan uang yang sama nilainya
dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.

Barangkali kehadiran saya sekarang
mulai tidak mengenakkan suasana?
Keadaan ini dulu sudah saya alami.
Apakah orang seperti saya harus dilanda
oleh sejarah?
Tetapi ingat:
sementara sejarah selalu melahirkan
masalah ketidakadilan,
tetapi ia juga selalu melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.

Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
kita sama-sama memahami sejarah.
Senang atau tidak senang
ternyata tuan-tuan tidak bisa
meniadakan saya.
Nama saya Multatuli
saya bukan buku yang bisa dilarang
dan dibakar.
Juga bukan benteng yang bisa
dihancurleburkan.
Saya Multatuli:
sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri.
Oleh karena itu
saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah.

Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
apabila ada keadaan yang celaka,
apakah perlu ditambah celaka lagi?
Pada intinya inilah pertanyaan sejarah
kepada anda semua.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya
yang hadir di sini,
setelah memahami sejarah,
saya betul tidak lagi merasa sepi.
Dan memang tidak relevan lagi bagi saya
untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,
sebab jelaslah sudah kewajiban saya.
Ialah: hadir dan mengalir.

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
terima kasih.

Bojong Gede, 5 Nopember 1990


Orang Biasa

Apa artinya sebidang tanah?
Apa artinya rumah?
Apa artinya jauh dari sejarah?

Semuanya itu terkait
di dalam kisah hidupku.

Setelah pensiun
sebagai guru SD di Rangkasbitung,
aku menetap di sini.
Sebuah desa kecil, di pinggir kota itu.

Untung aku dulu sempat membeli tanah ini.
Memang murah, tetapi cocok dengan
gaji guru.
Dua puluh kali tujuh puluh meter.
Memanjang ke belakang.
Dengan pagar batu kali. Separoh badan.
Ketika istriku tercinta wafat,
aku makamkan ia di kebun belakang
di bawah pohon gandaria.

Di malam musim kemarau,
angin sangat berharga.
Langit berdandan dengan beribu-ribu intan.
Ada suara serangga-serangga malam.
Ada suara anak-anak belajar mengaji.
Kami termenung dan terpesona.
Aku dan gandaria.

Dekat setelah aku pensiun,
tanahku jadi korban pembangunan.
Tinggal dua puluh kali tiga puluh meter.
Akibat proyek jalan raya.

Hilanglah pohon-pohon nangka.
Bahkan rumah juga dibongkar.
Tinggal tanah enam ratus meter persegi,
pagar batu kali separoh badan,
rumpun bunga kana,
kuburan istriku,
dan gandaria.
Uang ganti rugi aku berikan kepada putra
bungsuku.
Untuk belajar ke Yogya.
Sekarang ia pembantu rektor di Gadjah
Mada.

Putraku yang pertama seorang ksatria
pangkatnya jendral, jabatannya panglima.
Anakku yang kedua wanita.
Kawin dengan bangkir Jepang, tinggal di
Osaka.

Putraku yang bungsu tidak banyak bicara.
Ia terlalu mengerti sifat ayahnya.
Tetapi kedua anakku yang lain banyak
bicara.
Karena tak paham dan juga tak tega.
“Kenapa sisa tanah tidak dijual saja?
Dan ayah tinggal bersama kami.”

Tidak
aku akan menetap di sini sampai mati.
Di bawah naungan gandaria.

Apakah aku bertahan
karena kuburan almarhum istriku?
Tidak.
Batu nisan yang aku dirikan
hanya berguna untuk kami yang hidup.
Sebagai aktualisasi rasa hormat dan cinta.
Kuburan bisa dipindah kapan saja dan
di mana saja.
Di akhirat, di mana istriku berada,
suatu kuburan tak ada maknanya.


Lalu apakah karena ikatan
kepada tanah tumpah darah?
Jelas tidak.
Aku lahir di desa Sengon, Yogyakarta.
Setelah tamat Sekolah Guru Bawah
aku hanya punya satu lowongan
tanpa lain pilihan:
sebuah Sekolah Dasar
di Rangkasbitung.

Barangkali ada ikatan sejarah?
Juga tidak.
Di zaman revolusi kemerdekaan,
meskipun aku masih sangat muda,
aku di Mranggen ikut bergerilya,
melawan imperialis Inggris dan Belanda.
Tidak. Tidak.
Di Rangkasbitung
aku tidak pernah terlibat dalam sejarah besar.
Aku hanya mengajar di Sekolah Dasar
sampai pensiun,
dan tanahku terpotong
gara-gara pembangunan jalan raya.
Jelas ini bukan sejarah nasional
apalagi internasional.

Putriku bertanya:
“Apakah ayah benar mencintai Rangkasbitung?”
Ya! Dengan tegas: ya!
“Tetapi tempat macam apa ini?
Cuma Rangkasbitung!
Tidak sebanding dengan Osaka!”
Cuma Rangkasbitung!
Dan saya: cuma manusia.
Cuma guru SD. Sudah pensiun pula.
Jangan berkata “cuma”
kalau bicara tentang cinta.
Cinta itu peristiwa dalam roh.
Roh. Bagaimana bisa dijelaskan dengan akal.
Kita hanya bisa melukiskan bayangannya
yang ragamnya berlaksa-laksa.
Peristiwa di dalam roh tak bisa dijelaskan.
Ia hanya bisa dialami.
Apakah kami bisa mengalami
pengalaman rohku?

Ya. Memang.
Rohku mencinta
Rangkasbitung.
Dan:
gandaria!

Hm. Gandaria!
Bahkan bukan aku menanamnya.
Ia sudah ada waktu tanah ini kubeli.
Aku sendiri kehabisan kata-kata.
Aku sendiri tak bisa mengerti.
Aku. Rangkasbitung. Gandaria.
Jadi.

Dari bangkai pohon nangka,
beberapa batang bambu,
genteng, dan paku,
aku dirikan rumahku ini.
Rumah bilik. Empat kali lima meter.
Kuat. Hangat. Rapi. Sempurna.
Sisa halamannya aku tanami pepaya-pepaya,
dan rumpun pisang tanduk.
Aku tidak ingin apa-apa lagi.

Putraku yang pertama berkata:
“Ayah kurang ambisi.
Kalau ayah mau
bisa menjadi lebih dari sekadar guru.”

Salah lagi.
Jangan disangka aku tidak pernah mencoba
pengalaman lainnya.
Menjadi tentara. Agen koran.
Penagih rekening. Mengurus restoran.
Tetapi aku hanya mengalami kelengkapan
diriku
apabila menjadi guru.
Semangatku bergelora,
gairah hidupku menyala,
dalam suka maupun duka,
apabila aku menjadi guru.
Memang tidak istimewa untuk ukuran dunia.
Sangat, sangat biasa.
Tetapi aku, Rangkasbitung dan gandaria,
sebenar-benarnya,
adalah sangat, sangat biasa.

Kenapa anak-anakku menjadi gelisah,
hanya karena aku mantap menjadi
orang biasa?
Aku bukan panglima. Aku bukan bankir.
Bahwa aku mendapat ijazah itu
sudah anugerah.
Ilmu hitung dan bahasa Inggris mendapat
nilai lima.
Tetapi! Te-ta-pi …
aku bukan orang yang putus asa
ataupun menderita.
Aku gembira.
Dan aku juga tidak rendah diri.
Aku bangga.
Sangat bangga.
Hidupku indah.
Bukannya aku tidak pernah terganggu
oleh suara lalu lintas jahanam
yang tepat berada di depan hidungku.
Tetapi aku juga melihat
kilasan-kilasan wajah sopir truk,
orang-orang desa yang berjejal naik bis,
orang-orang bule diangkut travel-bureau,
dan debu, dan matahari,
dan percayalah:
pada saat seperti itu
alam semesta terbuka.
Aku masuk ke dalam pangkuannya.
Aku mendengar suara-suara
Sumatra, India, Eropa,
Peru, Australia.
Juga suara-suara kabut di langit,
cacing di tanah, hiu di lautan.
Aku mencium bau minyak rambut ibuku,
bau lemak di kulit Jengis Khan,
bau kulit susu istriku.
Matahari dan rembulan hadir bersama.
Luar biasa. Alangkah indahnya.
Allahu Akbar. Allahu Akbar.

Anak-anakku.
Alangkah indahnya.
Alangkah, alangkahnya …
Bismillahir Rahmaanir Rahiim.
Alhamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.
Ar Rahmaanir Rahiim.
Maaliki yaumiddiin.
Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.
Ihdinash shiraathal mustaqiim.
Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim ghairil
maghdubi
‘alaihim wa
ladh dhaaliin.
Amin.

Bojong Gede, 7 Nopember 1990


Doa untuk Anak Cucu

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Ya, Allah.
Di dalam masa yang sulit ini,
di dalam ketenangan
yang beku dan tegang,
di dalam kejenuhan
yang bisa meledak menjadi keedanan,
aku merasa ada muslihat
yang tak jelas juntrungannya.
Ya, Allah.
Aku bersujud kepada-Mu.
Lindungilah anak cucuku.

Lindungilah mereka
dari kesabaran
yang menjelma menjadi kelesuan,
dari rasa tak berdaya
yang kehilangan cita-cita.

Ya, Allah.
Demi ketegasan mengambil risiko
ada bangsa yang di-mesin-kan
atau di-zombie-kan.
Ada juga yang di-fosil-kan
atau di-antik-kan.
Uang kertas menjadi topi
bagi kepala yang berisi jerami.
Reaktor nuklir menjadi tempat ibadah
di mana bersujud kepala-kepala hampa
yang disumpal bantal tua.
Kemakmuran lebih dihargai
dari kesejahteraan.
Dan kekuasaan
menggantikan kebenaran.
Ya, Allah.
Lindungilah anak cucuku.

Lindungilah mereka
dari berhala janji-janji,
dari hiburan yang dikeramatkan,
dari iklan yang dimythoskan,
dan dari sikap mata gelap
yang diserap tulang kosong.

Ya, Allah.
Seorang anak muda
bertanya kepada temannya:
“Ke mana kita pergi?”
Dan temannya menjawab:
“Ke mana saja.
Asal jangan berpikir untuk pulang.”
Daging tidak punya tulang
untuk bertaut.
Angin bertiup
menerbangkan catatan alamat.
Dan rambu-rambu di jalan
sudah dirusak orang.
Ya, Allah.
Lindungilah anak cucuku.

Lindungilah mereka
dari kejahatan lelucon
tentang Chernobyl dan Hirosima,
dari heroin
yang diserap lewat ciuman,
dari iktikad buruk
yang dibungkus kertas kado,
dan dari ancaman tanpa makna.

Ya, Allah.
Kami dengan cemas menunggu
kedatangan burung dara
yang membawa ranting zaitun.
Di kaki bianglala
Leluhur kami bersujud dan berdoa.
Isinya persis seperti doaku ini.
Lindungilah anak cucuku.
Lindungilah daya hidup mereka.
Lindungilah daya cipta mereka.
Ya, Allah, satu-satunya Tuhan kami.
Sumber dari hidup kami ini.
Kuasa Yang Tanpa Tandingan.
Tak ada samanya
di seluruh semesta raya.
Allah! Allah! Allah! Allah!

Bojong Gede, 18 Juli 1992


Pemandangan Senjakala

Senja yang basah meredakan hutan yang terbakar.
Kelelawar-kelelawar raksasa datang dari langit kelabu tua.
Bau mesiu di udara. Bau mayat. Bau kotoran kuda.
Sekelompok anjing liar
memakan beratusribu tubuh manusia
yang mati dan yang setengah mati.
Dan di antara kayu-kayu hutan yang hangus
genangan darah menjadi satu danau.
Luas dan tenang. Agak jingga merahnya.
Dua puluh malaekat turun dari sorga
mensucikan yang sedang sekarat
tapi di bumi mereka disergap kelelawar-kelelawar raksasa
yang lalu memperkosa mereka.
Angin yang sejuk bertiup sepoi-sepoi basa
menggerakkan rambut mayat-mayat
membuat lingkaran-lingkaran di permukaan danau darah
dan menggairahkan syahwat para malaekat dan kelelawar.
Ya, saudara-saudaraku,
aku tahu inilah pemandangan yang memuaskan hatimu
kerna begitu asyik kau telah menciptakannya.

Rick dari Corona

(Di Queens Plaza
di stasion trem bawah tanah
ada tulisan di satu temboknya:
“Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?”)

Ya.
Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?

- Akulah Betsy
Ini aku di sini.
Betsy Wong dari Jamaica.
Kakek buyutku dari Hongkong.
Suamiku penjaga elevator
Pedro Gonzales dari Puertorico
suka mabuk dan suka berdusta.
Kalau ingin ketemu, telpon saja aku.
Pagi hari aku kerja di pabrik roti
Selasa dan Kamis sore
aku miliknya Mickey Ragolsky
si kakek Polandia
yang membayar sewa kamarku.
Cobalah telpon hari Rabu.
Jangan kuatirkan suamiku.
Ia akan pura-pura tak tahu.
O, ya, sebelum lupa:
dua puluh dollar ongkosnya.
Betsyku bersih dan putih sekali
lunak dan halus bagaikan karet busa.
Rambutnya mewah tergerai
bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
Dan kakinya sempurna.
Singsat dan licin
bagaikan ikan salmon

(Rick dari Corona
di perut kota New York
memandang kanan kiri
sambil minum jeruk soda)

Betsy.
Di mana engkau, Betsy?

- Ini, Betsy Hudson di sini.
aku merindukan alam hijau
tapi benci agraria.
Aku percaya pada dongeng aneka ragam
Aku percaya pada benua Atlantis.
Dan juga percaya bahwa hidup di bulan
lebih baik dari hidup di bumi.
Pada politik aku tak percaya.
Namaku Betsy.
Memang.
Tapi kita tak mungkin ketemu
Siang hari aku kerja jadi akuntan.
Malam hari aku suka nulis buku harian.

Untuk merias diri
memelihara rambut dan kuku
telah pula memakan waktu.
Namaku Betsy.
Cantik
Aku suka telanjang di depan kaca.
Aku benci lelaki.

(Dengan mobil sport dari Inggris
Rick dari Corona
mengitari kota New York
berkacamata hitam sekali.
Melanggar aturan lalu lintas
ia disetop polisi
sambil masih mimpi siang hari)

Betsy gemerlapan bagai lampu-lampu Broadway.
Betsy terbang dengan indah.
Bau minyak wanginya menidurkan New York
Dan selalu sesudah itu
aku diselimutinya
dengan selimut katun
yang ditenunnya sendiri
Betsy, di mana engkau, Betsy.

- Di sini, bodoh!
Kau selalu tak mendengarkan aku, Ricky!
Kau selalu menciptakan kekusutan.
Sepatu tak pernah kauletakkan pada raknya.
Selalu kau pakai dasi yang kacau warnanya.
Berapa kali pula kau kuperingatkan
kalau tidur jangan mendengkur.
Itu barbar.
Dan Ricky!
Kau harus belajar makan sup yang lebih sopan!

(New York mengangkang.
Keras dan angkuh.
Semen dan baja.
Dingin dan teguh.
Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan
terdengar musik gelisah
yang tentu saja
tak berarti apa-apa)

Rick dari Corona telah di sini
Ya. Ya.
Betsy, engkau di mana?
-  Ricky, sayang, aku di sini.
   Ya. Ya.
+  Engkau hitam.
Engkau bukan Betsy.
Engkau macam Negro dari Harlem.
-   Pegang pinggulku
Rasakan betapa lunak dan penuhnya.
Namaku Betsy. Ya. Ya.
+  Gadisku selalu menjawab dengan sabar
segala pertanyaanku yang bodoh dan sangsi.
-   Aku Betsy kerna aku Negro.
 Kerna aku Negro
 aku adalah tanggung jawabmu.
 Ya, namaku Betsy.
 Telah kuputuskan namaku Betsy
+   Apyun. Apyun.
 Aku hasratkan pengalaman mistis.
 Aku ingin melukis tubuhmu telanjang.
  sambil kuhisap mariyuana.
-Ricky, sayang, engkau akan kuninabobokan.
 Dan bagai bayi akan kaupuja tetekku.
+   Dari Queens. Dari Brooklyn. Dan dari Manhattan….
-Ricky, sayang, garudaku sayang.
+   Sebab irama combo, sebab buaian saxophone…
-Pejamkan matamu.
  Dan bagaikan banyo
  mainkanlah aku

(Di Harlem, Manhattan, New York
di mana orang tinggal penuh sesak
di mana udara bau air kencing dan sampah
di musim panas dengan udara sembilan puluh lima drajat
para Negro menari watusi di tepi jalan
dan pada drajat ke seratus dua
terjadi perkelahian antara mereka).

Hallo. Hallo.
Di sini Rick dari Corona.
Dan Betsy juga di sini…
Hallo, Dokter.
Kami harus disuntik sekarang juga.
Kami kena rajasinga.


Blues untuk Bonnie

Kota Bostron lusuh dan layu
kerna angin santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
Di dalam café itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh pasang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap
mengepulkan asap rokok kelabu,
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.

Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
Lagu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
Di sana gubug-gubug kaum Negro.
Atap-atap yang bocor.
Cacing tanah dan pellagra
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.

Orang-orang berhenti bicara.
Dalam café tak ada suara.
Kecuali angin menggetarkan kaca jendela.
Georgia.
Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi.
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya.

Maka dalam blingsatan
ia bertingkah bagai gorilla.
Gorilla tua yang bongkok
meraung-raung.
Sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya.

Georgia.
Tak ada lagi tamu baru.
Udara di luar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
menunggu ranjang yang dingin.
Serentak dilihat muka majikan café jadi kecut
lantaran malam yang bangkrut
Negro itu menengadah.
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
menatap ke surga.
Dan surga.
melemparkan sebuah jala
yang menyergap tubuhnya

Bagai ikan hitam
ia menggelepar dalam jala
Jumpalitan
dan sia-sia.
Marah
terhina
dan sia-sia.

Angin bertalu-talu di alun-alun Boston.
Bersuit-suit di menara gereja-gereja.
Sehingga malam koyak moyak.
Si Negro menghentakkan kakinya
Menyanyikan kutuk dan serapah.
Giginya putih berkilatan
meringis dalam dendam.
Bagai batu lumutan
wajahnya kotor, basah dan tua

Maka waktu bagaikan air bah
melanda sukmanya yang lelah.
Sedang di tengah-tengah itu semua
ia rasakan sentakan yang hebat
pada kakinya.
Kaget
hampir-hampir tak percaya
ia merasa
encok yang pertama
menyerang lututnya.

Menuruti adat pertunjukan
dengan kalem ia menahan kaget.
Pelan-pelan duduk di kursi
Seperti guci retak
di toko tukang loak.
Baru setelah menarik napas panjang
ia kembali bernyanyi.

Georgia.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Istrinya masih di sana
setia tapi merana
Anak-anak Negro bermain di selokan
tak krasan sekolah.
Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual
banyak hutangnya.
Dan di hari Minggu
mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro
Di sana bernyanyi
terpesona pada harapan akherat
kerna di dunia mereka tak berdaya.

Georgia.
Lumpur yang lekat di sepatu.
Gubug-gubug yang kurang jendela.
Duka dan dunia
sama-sama telah tua
Sorga dan neraka
keduanya usang pula.
Dan Georgia?
Ya, Tuhan
Setelah begitu jauh melarikan diri,
masih juga Georgia menguntitnya.


Kupanggil Namamu

Sambil menyeberangi sepi
kupanggil namamu, wanitaku.
Apakah kau tak mendengarku?

Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
kerna memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala.

Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
yang kini sudah kulupa
Sia-sia.
Tak ada yang bisa kujangkau.
Sempurnalah kesepianku.

Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Dan dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek-robek hatiku yang celaka.

Berulang kali kupanggil namamu
Di manakah engkau, wanitaku?
Apakah engkau juga menjadi masa silamku?
Kupanggil namamu.
Kupanggil namamu.
Kerna engkau rumah di lembah.
Dan Tuhan?
Tuhan adalah seniman tak terduga
yang selalu sebagai sediakala
hanya memedulikan hal yang besar saja.

Seribu jari dari masa silam
menuding kepadaku.
Tidak.
Aku tidak bisa kembali.

Sambil terus memanggili namamu
amarah pemberontakanku yang suci
bangkit dengan perkasa malam ini
dan menghamburkan diri ke cakrawala
yang sebagai gadis telanjang
membukakan diri padaku.
Penuh. Dan prawan.

Keheningan sesudah itu
sebagai telaga besar yang beku
dan aku pun beku di tepinya.
Wajahku. Lihatlah, wajahku.
Terkaca di keheningan.
Berdarah dan luka-luka
dicakar masa silamku.

Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta

Pelacur-pelacur kota Jakarta
dari kelas tinggi dan kelas rendah
telah diganyang
telah diharu-biru.
Mereka kecut
keder
terhina dan tersipu-sipu.

Sesalkan mana yang mesti kausesalkan.
Tapi jangan kau kelewat putus asa.
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban.

Wahai, pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah.
Sanggul kembali rambutmu
Kerna setelah menyesal
datanglah kini giliranmu
bukan untuk membela diri melulu
tapi untuk melancarkan serangan.
Kerna:
Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
tapi jangan kau rela dibikin korban.

Sarinah.
katakan pada mereka
bagaimana kau dipanggil ke kantor mentri
bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
tentang perjuangan nusa bangsa
dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
ia sebut kau inspirasi revolusi
sambil ia buka kutangmu.

Dan kau, Dasima
Kabarkan pada rakyat
bagaimana para pemimpin revolusi
secara bergiliran memelukmu
bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
sambil celana basah
dan tubuhnya lemas
terkapai di sampingmu
Ototnya keburu tak berdaya.

Politisi dan pegawai tinggi
adalah caluk yang rapi.
Konggres-konggres dan konperensi
tak pernah berjalan tanpa kalian.
Kalian tak pernah bisa bilang “tidak”
lantaran kelaparan yang menakutkan
kemiskinan yang mengekang
dan telah lama sia-sia cari kerja.
Ijasah sekolah tanpa guna.
Para kepala jawatan
akan membuka kesempatan
kalau kau membuka paha.
Sedang di luar pemerintahan
perusahan-perusahaan macet
lapangan kerja tak ada….
Revolusi para pemimpin
dalah revolusi dewa-dewa.
Mereka berjuang untuk surga
dan tidak untuk bumi.
Revolusi dewa-dewa
tak pernah menghasilkan
lebih banyak lapangan kerja
bagi rakyatnya.
Kalian adalah sebagian penganggur
yang mereka ciptakan.
Namun
sesalkan mana yang mesti kausesalkan
tapi jangan kau klewat putus asa
dan kau rela dibikin korban.

Pelacur-pelacur kota Jakarta.
berhentilah tersipu-sipu.
ketika kubaca di Koran
bagaimana badut-badut mengganyang kalian
menuduh kalian sumber bencana Negara
aku jadi murka
Kalian adalah temanku.
Ini tak bisa dibiarkan.
Astaga.
Mulut-mulut badut.
Mulut-mulut yang latah
Bahkan seks mereka perpolitikan.

Saudari-saudariku.
Membubarkan kalian
tidak semudah membubarkan partai politik.
Mereka harus beri kalian kerja.
Mereka harus pulihkan derajat kalian.
Mereka harus ikut memikul kesalahan.

Saudari-saudariku. Bersatulah.
Ambillah galah.
Kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya.
Araklah keliling kota
sebagai panji-panji yang telah mereka nodai
Kini giliranmu menuntut.
Katakanlah pada mereka;
menganjurkan mengganyang pelacuran
tanpa menganjurkan
mengawini para bekas pelacur
adalah omong kosong.

Pelacur-pelacur kota Jakarta.
Saudari-saudariku.
Jangan melulu keder pada lelaki
Dengan mudah
kalian bisa telanjangi kaum palsu.
naikkan taripmu dua kali
dan mereka akan klabakan.
Mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berjinah
dengan istri saudaranya.


Kesaksian Tahun 1967

Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja
kaca dan tambang-tambang yang menderu.
Bumi bakal tidak lagi perawan,
tergarap dan terbuka
sebagai lonte yang merdeka.
Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan.
Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan.
Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang
menganga.

Nasib kita melayang seperti awan.
Menantang dan menertawakan kita,
menjadi kabut dalam tidur malam,
menjadi surya dalam kerja siangnya.
Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini
dengan tangan-tangan yang angkuh dan terkepal
Tangan-tangan yang memberontak dan bekerja.
Tangan-tangan yang mengoyak sampul keramat
dan membuka lipatan surat suci
yang tulisannya ruwet tak bisa dibaca

Ballada Lelaki-lelaki Tanah Kapur

Para lelaki telah keluar di jalanan
dengan kilatan-kilatan ujung baja
dan kuda-kuda para penyamun
telah tampak di perbukitan kuning
bahasa kini adalah darah.

Di belakang pintu berpalang
tangis kanak-kanak, doa perempuan.

Tanpa menang tiada kata pulang
pelari akan terbujur di halaman
ditolaki bini dan pintu berkunci.

Mendatang derap kuda
dan angin bernyanyi :
-'Kan kusadap darah lelaki
terbuka guci-guci dada baja
bagai pedagang anggur dermawan
lelaki-lelaki rebah di jalanan
lambung terbuka dengan geram serigala!

O, bulu dada yang riap!
Kebun anggur yang sedap!

Setengah keliling memagar
mendekat derap kuda
lalu terdengar teriak peperangan
dan lelaki hidup dari belati
berlelehan air amis
mulut berbusa dan debu pada luka.

Pada kokok ayam ketiga
dan jingga langit pertama
para lelaki melangkah ke desa
menegak dan berbunga luka-luka
percik-percik merah, dada-dada terbuka.

Berlumur keringat diketuk pintu.
- Siapa itu?
- Lelakimu pulang, perempuan budiman!

Perempuan-perempuan menghambur dari pintu
menjilati luka-luka mereka
dara-dara menembang dan berjengukan
dari jendela.

Lurah Kudo Seto
bagai trembesi bergetah
dengan tenang menapak
seluruh tubuhnya merah.

Sampai di teratak
istri rebah bergantung pada kaki
dan pada anak lelakinya ia berkata:
- Anak lanang yang tunggal!
kubawakan belati kepala penyamun bagimu
ini, tersimpan di daging dada kanan.

Tangis

Ke mana larinya anak tercinta
yang diburu segenap penduduk kota?
Paman Doblang! Paman Doblang!

la lari membawa dosa
tangannya dilumuri cemar noda
tangisnya menyusupi belukar di rimba.

Sejak semalam orang kota menembaki
dengan dendam tuntutan mati
dan ia lari membawa diri.
Seluruh subuh, seluruh pagi.

Paman Doblang! Paman Doblang!
Ke mana larinya anak tercinta
di padang lalang mana
di bukit kapur mana
mengapa tak lari di riba bunda?

Paman Doblang! Paman Doblang!
Pesankan padanya dengan angin kemarau
ibunya yang tua menunggu di dangau.

Kalau lebar nganga lukanya
mulut bunda 'kan mengucupnya.

Kalau kotor warna jiwanya
ibu cuci di lubuk hati.

Cuma ibu yang bisa mengerti
ia membunuh tak dengan hati.

Kalau memang hauskan darah manusia
suruhlah minum darah ibunya.

Paman Doblang! Paman Doblang!
Katakan, ibunya selalu berdoa.
Kalau ia 'kan mati jauh di rimba
suruh ingat marhum bapanya
yang di sorga, di imannya.

Dan di dangau ini ibunya menanti
dengan rambut putih dan debar hati.

Paman Doblang! Paman Doblang!
Kalau di rimba rembulan pudar duka
katakan, itulah wajah ibunya.


Ballada Lelaki yang Luka

Lelaki yang luka
biarkan ia pergi, Mama!
Akan disatukan dirinya
dengan angin gunung.
Sempoyongan tubuh kerbau
menyobek perut sepi.
Dan wajah para bunda
Bagai bulan redup putih.

Ajal! Ajal!
Betapa pulas tidurnya
di relung pengap dalam!
Siapa akan diserunya?
Siapa leluhurnya?
Lelaki yang luka
melekat di punggung kuda.

Tiada sumur bagai lukanya.
Tiada dalam bagai pedihnya.
Dan asap belerang
menyapu kedua mata.
Betapa kan dikenalnya bulan?
Betapa kan bisa menyusu dari awan?
Lelaki yang luka
tiada tahu kata dan bunga.

Pergilah lelaki yang luka
tiada berarah, anak dari angin.
Tiada tahu siapa dirinya
didaki segala gunung tua.
Siapa kan beri akhir padanya?
Menapak kaki-kaki kuda
menapak atas dada-dada bunda.

Lelaki yang luka
biarkan ia pergi, Mama!
Meratap di tempat-tempat sepi.
Dan di dada:
betapa parahnya.

Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut burni
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang.

Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang-balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.

- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang.

- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya tapi masih setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala.

- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.

Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ke tiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
la telah membunuh bapanya.

Ballada Gadisnya Jamil, Si Jagoan

Begitu ia masuk ke dalam kali
perawan dengan dada-dada pepaya.
Sebab kedua matanya
telah ia tatapkan pada bulan
dan terkaca pada segala
hidup bukan lagi miliknya.

- Jamil! Jamil!
Bahkan pandang terakhir
tiada aku diberinya.
Punahlah sudah punah
lelaki yang hidup dari luka.
Kerbau jantan paling liar
memberi gila di dada berbunga.

Begitu ia masuk ke dalam kali
ikan larikan kail di rabunya
di pusaran putih
segala tuba.

- Jamil! Jamil!
Amis darah di mulutnya
kukulum keraknya kini.
Jamil! jamil!
Bersuluh obor
mereka mengejarnya
setelah ia bunuh
anak lurah di pesta.
Dan tikaman paling dendam
melepas dahaga hitam
pada tubuhnya yang capai.

Si dara menatap bulan di air
didengarnya bisik arus gaib.
Begitu ia masuk ke dalam kali.

Tiada kemboja di sini
dan gagak-gagak dilekati timah
pada mata-matanya.

Lala! Nana!
Tembang malam dan duka cita!
Angin di pucuk-pucuk mangga.
Tapi siapa 'kan nyanyi untuknya?

Ballada Sumilah

Tubuhnya lilin tersimpan di keranda
tapi halusnya putih pergi kembara.

Datang yang berkabar bau kemboja
dari sepotong bumi keramat di bukit
makan dari bau kemenyan.

Sumilah!
Rintihnva tersebar selebar tujuh desa
dan di ujung setiap rintih diserunya
- Samijo! Samijo!

Bulan akan berkerut wajahnva
dan angin takut nyuruki atap jerami
seluruh kandungan malam pada tahu
roh Surnilah meratap dikungkung rindunya
pada roh Samijo kekasih dengan belati pada mata.

Dan sepanjang malam terurai riwayat duka
begini mulanya:
Bila pucuk bambu ngusapi wajah bulan
ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya
dengan kembang-kembang api jatuh peluru meriam pertama
malam muntahkan serdadu Belanda dari Utara.

Tumpah darah lelaki
o kuntum-kuntum delima ditebas belati
dan para pemuda beribukan hutan jati
tertinggal gadis terbawa hijaunya warna sepi.

Demi hati berumahkan tanah ibu
dan pancuran tempat bercinta
Samijo berperang dan mewarnai malam
dengan kuntum-kuntum darah
perhitungan dimulai pada mesiu dan kelewang.

Terkunci pintu jendela
gadis-gadis tertinggal menaikkan kain dada
ngeri mengepung hidup hari-hari

Segala perang adalah keturunan dendam
sumber air pancar yang merah
bebunga berwarna nafsu
dinginnya angin pucuk pelor, dinginnya mata baja
reruntuklah sernua merunduk
bahasa dan kata adalah batu yang dungu.

Maka satu demi satu meringkas rumah-rumah jadi abu
dan perawan-perawan menangisi malamnya tak ternilai
kerna musuh tahu benar arti darah
memberi minum dari sumber tumpah ruah
nyawanya kijang diburu terengah-engah.

Waktu siang mentari menyadap peluh
dengan bongkok berjalan nenek suci Hassan Ali
di satu semak menggumpal daging perawan
maka diserunya bersama derasnya darah:
- Siapa kamu?
- Daku Sumilah daku mendukung duka!
Belanda berbulu itu membongkar pintu
dikejar daku putar-putar sumur tapi kukibas dia.
- Duhai diperkosanva dikau anak perawan!
- Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!
Takutku punya dorongan tak tersangka
tersungkur ia bersama nafsunya ke sumur.
- O tersobek kulitmu lembut berbungakan darah
koyak-moyak bajumu muntahkan dadamu
lenyaplah segala kerna tiada lagi kau punya
bunga yang terputih dengan kelopak-kelopak sutra,
- Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!

Demi berita noda teramat cepat karena angin sendiri
di mulut tujuh desa terucap Sumilah dan nodanya.

Dan demi berita noda teramat cepat kerna angin sendiri
noda Sumilah terpahat juga di hutan-hutan jati
lelaki-lelaki letakkan bedil kelewang mengenangnya
dan Samijo kerahkan segenap butir darah
lebih setan daripada segala kerbau jantan.

Bila dukana terkaca pada bulan keramik putih
antara bebatang jati dengan rambut tergerai
Sumilah yang malang mendamba Samijonya
menyuruk musang, burung gantil nyanyikan ballada hitam.

Satu tokoh menonggak di tempat luang
dan berseru dengan nada api nyala:
- Berhenti! Sebut namamu!

Terhenti Sumilah serahkan diri ke batang rebah:
- Suaramu berkabar kau Samijo, Samijoku.
Daku Sumilah yang malang, Sumilahmu.
- Tiada lagi kupunya Sumilah. Sumilahku mati!
- Belum lagi, Samijo! Aku masih dara!

Bulan keramik putih tanpa darah
warna jingga adalah mata Samijo
menatap ia dan menatap amat tajamnya.

- Padamkan jingga apimu. Padamkan!
Demi selaput sutraku lembut: belum lagi!

Bulan keramik putih bagai pisau cukur
sayati awan dan malam yang selalu meratap
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya.

- Samijo, ambil tetesan darahku pertama
akan terkecap daraku putih, daramu seorang
Batang demi batang adalah balutan kesepian
malam mengempa segala terperah sendat napas
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya.

- Samijo, hentikan penikaman pisau pandang matamu
kaubantai daku bagai najis, mengorek dena yang tiada.
Padamlah padam kemilau yang menuntut dari dendam.

Wama pandangnya seolah ungkapan kutuk berkata:
- Jadilah perempuan mandul kerna busuk rahimmu,
jadilah jalang yang ngembara dari hampa ke dosa
aku kutuki kau demi kata putus nenek moyang!

Tanpa omong dilepas tikaman pandang penghabisan
lalu berpaling ia menghambur ke jantung hutan jati
tertinggal Sumilah digayuti koyak-moyaknya.

Sedihlah yang bercinta kerna pisah
lebih sedihlah bila noda terbujur antaranya
dan segalanya itu tak 'kan padam.

Kokok avam jantan esoknya bukanlah tanda menang
adalah ratap yang juga terbawa oleh kutilang
karena warga desa jumpai mayat Samijo
nemani guguran talok depan tangsi Belanda.

Merataplah semua meratap
kerna yang mati menggenggam dendam
di katup rahang adalah kenekatan linglung tersia.

Kerna dendamnya siksa airmatanya terus kembara
menatap kehadiran Sumilah, dinginnya tanpa percaya
dan Sumilah jadi gila terkempa dada oleh siksa
gadis begitu putih jumpai ajalnya di palung sungai.

Sumilah! Sumilah!
Tubuhnya lilin tersimpan di keranda
tapi halusnya putih pergi kembara
rintihnya tersebar selebar tujuh desa
dan di ujung setiap rintih diserunya:
- Samijo! Samijo!
Matamu tuan begitu dingin dan kejam
pisau baja yang mengorek noda dari dada
dari tapak tanganmu angin napas neraka
mendera hatiku berguling lepas dari rongga
bulan jingga, telaga kepundan jingga
ranting-ranting pokok ara
terbencana darahku segala jingga
Hentikan, Samijo! Hentikan, ya Tuan!


Spada

He, kakak yang berjalan ke timur itu
palingkan kepalamu bongkah batu
kerna dalam gelap yang menelanmu
aku bimbang apa kau lakiku!

Ada khianat dan angkuh antara kita
tertahan ku ngejar, bisaku cuma nyapa.
Spada! Hai! Teriak angin di dada: Spada!
Bila kau lelakiku yang serong, berpalinglah kiranya.

Lagu serdadu

Kami masuk serdadu dan dapat senapang
ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak!

Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali.
Wahai, tanah yang baik untuk mati!
Dan kalau ku telentang dengan pelor timah
cukillah ia bagi putraku di rumah.

Lagu Ibu

Angin kencang datang tak terduga.
Angin kencang mengandung pedas mrica.
Bagai kawanan lembu langit tanpa perempuan.
Kawanan arus sedih dalam pusaran.
Ditumbukinya padas dan batu-batuan.
Tahu kefanaan, ia pergi tanpa tinggalan.
Angin kencang adalah birahi, sepi dan malapetaka.
Betapa kencang serupa putraku yang jauh tak terduga.

Perempuan Sial

la terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnya

Mereka menemuinya tanpa dukacita
dan angin bau karat tembaga.

Mulutnya menggigit berahi layu
bunga biru dan berbau.

Matanya tidak juga pejam
lain mimpi, lain digenggam.

Ah, tubuhnva! Ah, rambutnya!
Tempat tidur tersia suami tua.

Bunga bagai dia diasuh angin
oleh nasib jatuh ke riba lelaki tua dingin.

Nizar yang menopangnva dari kelayuan
perempuan bagai bunga, lelaki bagai dahan.

Lelaki muda itu bertolak tinggalkan dia
tersisa jantung dan hati dari timah.

la terbaring di taman tua
pestol di tangan dan lubang di jidatnva.

Suaminya yang tua berkata:
- Farida, engkau ini perempuan sial!

Ada Tilgram Tiba Senja

(Ada tilgram tiba senja
dari pusar kota yang gila
disemat di dada bunda).

(BUNDA, LETIHKU TANDAS KE TULANG
ANAKDA KEMBALI PULANG).

Kapuk randu! Kapuk randu!
Selembut tudung cendawan
kuncup-kuncup di hatiku
pada mengembang bemerkahan.

Dulu ketika pamit mengembara
kuberi ia kuda bapanya
berwarna sawo muda
cepat larinya
jauh perginya.

Dulu masanya rontok asam jawa
untuk apa kurontokkan air mata?
cepat larinya
jauh perginya.

Lelaki yang kuat biarlah menuruti darahnya
menghunjam ke rimba dan pusar kota.

Tinggal bunda di rumah menepuki dada
melepas hari tua, melepas doa-doa
cepat larinya
jauh perginya.

Elang yang gugur tergeletak
elang yang gugur terebah
satu harapku pada anak
ingat 'kan pulang 'pabila lelah.

Kecilnya dulu meremasi susuku
kini letih pulang ke ibu
hatiku tersedu
hatiku tersedu.

Bunga randu! Bunga randu!
Anakku lanang kembali kupangku.

Darah, o, darah
ia pun lelah
dan mengerti artinya rumah.

Rumah mungil berjendela dua
serta bunga di bendulnya
bukankah itu mesra?

Ada podang pulang ke sarang,
tembangnya panjang berulang-ulang
- Pulang ya pulang, hai petualang!

Ketapang. Ketapang yang kembang
berumpun di dekat perigi tua
anakku datang, anakku pulang
kembali kucium, kembali kuriba.

Balada Ibu yang Dibunuh

Ibu musang dilindung pohon tua meliang
bayinya dua ditinggal mati lakinya.

Bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.

Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan
harian atas nyawa.

Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.

Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang lebih menggigilkan
pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.

Tiada pulang ia yang meski rampas rejeki hariannya
ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur
pula dedaun tua.

Tiada tahu akan merataplah kolik meratap juga
dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin
Tenggara.

Lalu satu ketika di pohon tua meliang
matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.

Dan jalannya semua peristiwa
tanpa dukungan satu dosa. Tanpa.


Gerilya

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.

Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana.

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.

Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kasumatnya.

Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama.

la beri jeritan manis
dan duka daun wortel.

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.

Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
 ditimba air bergantang-gantang
 disiram atas tubuhnya.

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.

Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya

Serenada Hijau

Kupacu kudaku.
Kupacu kudaku menujumu.
Bila bulan
menegurkan salam
dan syahdu malam
bergantung di dahan-dahan

Menyusuri kali kenangan
yang berkata tentang rindu
dan terdengar keluhan
dari batu yang terendam

Kupacu kudaku.
Kupacu kudaku menujumu.
Dan kubayangkan
sedang kautunggu daku
sambil kaujalin
rambutmu yang panjang.

Malaikat-malaikat Kecil

Malaikat-malaikat kecil
mengepakkan sayap-sayap kapas.
Kaki-kaki batang ubi
dan bau buah nangka
Mulut-mulut mawar kecil
omongnya melulu yang baik.
Bukan begitu, Manis? –
Angin tertumbuk pada nyanyi
berpusar-pusar dan pergi tinggi sekali.
Bahasa air sungai,
suara gaib rumah kerang,
ya, manis, manis,
angin menggosok gunung batu.
Malaikat-malaikat kecil
menggelitik kulit kuduk.
Malaikat-malaikat kecil
mengepakkan sayap-sayap kapas.

Lagu malam

Burung malam lepas dua-dua
membendung anak kali dari langit.
Jatuhlah merjan-merjan mimpi.
Digetarkan bulu-bulu tubuhnya
dan bersebaran kutu-kutu perak.

Manis, ya manis.
Tusuk peniti lima buah
pada renda menutup dadamu.
Bujang-bujang mengulurkan tangannya
tak berarah di remang-remang.
Wahai, betapa bercandunya
tangan bujang di remang-remang.

Ada bocah, ada nenek
ada pokok mangga dan dongeng.
Wajah yang dipahat tajam garam
menyorot atas wajah bersih telanjang.
Mata-mata mereka tengadah terbuka.
Dan terlepas dari manik-manik hitamnya:
burung emas tak bersarang.

Petualang

Diserahkannya rindunya pada tali-tali gitar
hatinya tidak lagi di badannya

Tanah ibu yang jadi asing kecuali dirindu
terbaring antara dua sisi:
istirah dirajai lesu merampas sisa umurnya
dan menggenggam tuju membusuk di dada
ke daerah yang menutup pintu sebelum membuka.

Sebab keyakinan ada arti pada diri
dicobanya berulang kali
berpaling dari hasrat tarik diri.

Dalam alir darahnya mengalir sumpah petualang:
berkubur di lautan apa rimba tak terduga.

Ditatapnya nyalang mula tuju
katupan pintu.
Menatap juga ia kaki belum kuasa dilangkahkan.

Terbawa rindu tiap kelelahan meniduri diri
tanah ibu, sumur tua, mata adiknya
menjerit-jerit ia dalam kebisuan mulutnya
diserahkannya rindunya pada tali-tali gitar.

Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon

Inilah sajakku,
seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,
dengan kedua tangan kugendong di belakang,
dan rokok kretek yang padam di mulutku.

Aku memandang jaman.
Aku melihat gambaran ekonomi
Di etalase toko yang penuh merk asing,
dan jalan-jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
Aku meludah di atas tanah.

Aku berdiri di muka kantor polisi.
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
penuh debu,
penuh kucing-kucing liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.

Aku berjalan menempuh matahari,
menyusuri jalan sejarah pembangunan,
yang kotor dan penuh penipuan.
Aku mendengar orang berkata:
“Hak asasi manusia tidak sama di mana-mana.
Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,
kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.
Mengatasi kemiskinan
meminta pengorbanan sedikit hak asasi.”
Astaga, tahi kerbo apa ini!

Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan?
Di negeri ini hak asasi dikurangi,
justru untuk membela yang mapan dan kaya.
Buruh, tani, nelayan, wartawan dan mahasiswa,
dibikin tak berdaya.

O, kepalsuan yang diberhalakan,
berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.

Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.

Aku menatap senjakala di pelabuhan.
Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya! Ya! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.
Ya! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan mengadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak?
Apakah kata nurani kemanusiaan?

O, Senjakala yang menyala!
Singkat tapi menggetarkan hati!
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-
bintang!

O, gambaran-gambaran yang fana!
Kerna langit di badan tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.

Ya! Ya! Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.

Pejambon, 23 Oktober 1977


Sajak Seonggok Jagung

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar …
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium bau kuwe jagung.

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja.

Tetapi ini:

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”

TIM, 12 Juli 1975


Pamplet Cinta

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan
adalah penindasan.

Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bunga ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian.
Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna.
Makna menjadi harapan.
… Sebenarnya apakah harapan?
Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!

Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lengang…
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.
Lalu muncullah kamu,
nongol dari perut matahari bunting,
jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmat turun bagai hujan
membuatku segar,
tapi juga mengigigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!

Yaaah, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
dan sedih karena kita sering berpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukankan kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Pejambon, Jakarta, 28 April 1978.

Sajak Pertemuan Mahasiswa

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.

Kita bertanya:
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata: “Kami ada maksud baik.”
Dan kita bertanya: “Maksud baik untuk siapa?”

Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?”

Kenapa maksud baik dilakukan

tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu, kita bertanya:
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”

Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:
Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam mimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari
matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.

Dari bawah matahari ini kita bertanya:
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana!

Jakarta, 1 Desember 1977

Aku Mendengar Suara

Aku mendengar suara
Jerit hewan yang terluka.

Ada orang memanah rembulan.
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.

Orang-orang harus dibangunkan.
Kesaksian harus diberikan.
Agar kehidupan bisa terjaga.

Yogya, 1974

Share this:

Disqus Comments