Chairil Anwar pernah menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang kebudayaan Siasat, 1948-1949) dan redaktur Gema Suasana (1949). Ia meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Hari kematiannya diperingati sebagai Hari Sastra di Indonesia.
Kumpulan sajaknya, Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1949), Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950). Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949, disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986), Derai-derai Cemara (1998), Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide, Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck
Antologi puisi Tiga Menguak Takdir merupakan kumpulan puisi dari tiga penyair, yaitu Chairil Anwar (10 judul puisi), Rivai Apin (9 judul puisi), dan Asrul Sani (8 judul puisi) yang dalam halaman ini akan disajikan beberapa judul pilihan saja.
Puisi Chairil Anwar dalam Tiga Menguak Takdir
Perjurit Jaga Malam
pro Bahar + RivaiWaktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di sisiku selama kau menjaga daerah yang mati ini.
Aku suka pada mereka yang berani hidup
aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, berlucut debu…
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu.
Yang Terempas dan yang Luput
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu.
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam hatiku jika kau datang,
Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu,
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang.
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Sajak Buat Basuki Resobowo
Adakah jauh perjalanan ini?Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri?
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!
Lagi jalan ini berapa lama?
Boleh seabad… aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku di situ!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! Jawab sendiri! – Aku terus gelandangan…
Puisi Asrul Sani dalam Tiga Menguak Takdir
Elegi Jakarta, II
Ia yang hendak mencipta,menciptalah atas bumi ini.
Ia yang akan tewas,
tewaslah karena kehidupan.
Kita yang mau mencipta dan akan tewas
akan berlaku untuk ini dengan cinta,
dan akan jatuh seperti permata mahkota
berderai sebutir demi sebutir.
Apa juga nasib akan tiba.
Mesra yang kita bawa, tiadalah
Kita biarkan hilang karena isapan pasir.
Engkau yang telah berani menyerukan,
Kebenaranmu dari gunung dan keluasan
Sekali masa akan ditimpa angin dan hujan.
Jika suaramu hilang dan engkau mati,
Maka kami akan berduka, dan akan
menghormat bersama kekasih kami.
Kita semua berdiri di belakang tapal,
Dari suatu malam ramai,
Dari suatu kegelapan tiada berkata,
Dari waktu terlalu cepat dan kita mau tahan,
Dari perceraian-tiada mungkin
Dari sinar mata yang tiada terlupakan.
Serulah, supaya kita ada dalam satu barisan,
Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan senja
Terik yang keras tiada lagi akan sanggup
Mengeringkan kembang kerenyam
Pepohonan sekali lagi akan berdahan panjang
Dan buah-buahan akan matang pada tahun yang akan datang.
Mungkin engkau orang perang dan aku petualang,
Tetapi suatu hari cinta telah dijanjikan.
Jika bulan Juni telah pulang
Aku akan membaca banyak pada waktu malam
Dan mau kembali ke pantai Selatan jika kemarau telah datang
Laut India akan melempar pasang
Bercerita dari kembar cinta dan perceraian.
Aku akan minta, supaya engkau
Berdiri curam, atas puncak dibakar panas
Dan sekali lagi berseru, akan pelajaran baru
Waktu itu angin Juni akan bertambah tenang
Karena bulan berangkat tua,
Kemarau akan segan kepada bunga yang telah berkembang.
Di sini telah datang suatu peranan
Serta kita akan menderita dan tertawa
Tawa dan derita dari
yang tewas
yang mencipta …
Pengakuan
Akulah musafir yang mencari TuhanAtas runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama kabut pagi.
Akulah yang telah berperi,
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari manusia, dari dunia, dan dari Tuhan.
Ah, bumi yang mati,
Lazuardi yang kering.
Bagaimana aku masih dapat,
Menyayangkan air mata berlinang dari kembang kerenyam yang kering,
Sedang kota-kota dan rumah-rumah bambu lebih rendah dari wajah lautan.
Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata telah hampir terkatup,
Karena murtad, karena tiada percaya
Karena lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas berganti-ganti bentuk
Dari suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan,
Tuhan yang berkata.
Akulah musafir yang mencari Tuhan,
Dalam negeri batu retak,
Lalang dan api yang siap bertemu.
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu,
Dari seorang pencari rupa,
Dari rupa yang tiada lagi dikenalinya.
Perawan ringan, perawan riang
Berlagulah dalam kebayangan
Berupa warena
Berupa wareni,
Dan berlupalah sebentar akan kehabisan umur.
Marilah bermain.
Marilah berjalin tangan,
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip
Lebih samar dari sinar surya senja.
Kita akan bermain,
Dan tidur pulas, sampai
Datang lagi godaan:
“Akulah musafir yang mencari Tuhan.”
Bogor, 22 Pebruari 1949
Surat dari Ibu
Pergi ke dunia luas, anakku sayangpergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tak pedoman,
boleh engkau datang padaku
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari.”
Perhitungan Habis Tahun
Semalam aku telah bercinta pula,Kepada engkau yang datang dengan kereta senja
Dan pulang berkereta pagi,
Serta aku ingat bagaimana aku pulang
Seperti pelancung larut yang puas dahaga.
Malam hujan,
Serta engkau menangis
Dan tanganku kaku, hanya hati masih berdebar
Dan namamu yang berdiam di bibirku
Mengapa,
Ah, ini ialah suatu rahasia
Dari pelaut lagi mencari pelabuhan-darurat
Sekali ada disambut oleh Suki dan Rani pada teluk terbuka.
Tetapi mengapa
Akan jadi rahsia, sedangkan pendeta-pendeta pun.
Terpaksa berhenti berdoa karena mata yang hidup
Dan gelak melepaskan kita dari
Kertas dan bisa tinta, serta sajak-sajak tua
Yang berlagu kesedihan.
Tidak perlu ini akhir kelampauan kita ramaikan
Seperti kebesaran Darius di atas rata
Dan besok akan mati.
Kita diamkan saja, seperti suatu janji
Antara engkau dan daku.
Nanti jika ada sedih kita berdekapan dada sendiri
Berapa lamalah sejarah kita baru selesai,
Seperti katamu, aku telah bengkok dan dada penuh racun.
Semuanya ini perhitungan lurus akhir-tahun
Bagi engkau yang suka baca syair.
Apa yang akan tiba tentu nanti kita sambut,
Serta kekecilan kita maki dengan persetan
Untuk suatu pertarungan yang luas.
Suruh waktu datang!
Nanti aku datang.
Engkau yang datang dengan kereta senja
Dan pergi dengan kereta pagi.
Ini hanya pengakuan sementara.
Apa yang akan terjadi besok hari
Bahkan rasul pun tiada tahu.
Carilah aku,
Carilah aku,
Aku ada di pelabuhan.
Sekali-sekali kita bertukar,
Dan engkau boleh pulang seperti pelancung larut lepas dahaga.
Bogor, 1949
Elang Laut
Ada elang laut terbangsenja hari
antara jingga dan merah
surya hendak turun,
pergi ke sarangnya.
Apakah ia tahu juga,
bahwa panggilan cinta
ada ditahan kabut
yang menguap pagi hari?
Bunyinya menguak suram
lambat-lambat
mendekat, ke atas runjam
karang putih,
makin nyata.
Sekali ini jemu dan keringat
tiada akan punya daya
tapi topan tiada mau
dan mengembus ke alam luas.
Jatuh elang laut
ke air biru, tenggelam
dan tiada timbul lagi
Rumahnya di gunung kelabu
akan terus sunyi,
Satu-satu akan jatuh membangkai
ke bumi, bayi-bayi kecil tiada
bersuara.
Hanya anjing,
malam hari meraung menyalak bulan
yang melengkung sunyi.
Suaranya melandai
turun ke pantai
Jika segala
senyap pula,
berkata pemukat tua:
“Anjing meratapi orang mati!”
Elang laut telah
hilang ke lunas kelam
topan tiada bertanya
hendak ke mana dia.
Dan makhluk kecil
yang membangkai di bawah
pohon eru, tiada pula akan
berkata:
“Ibu kami tiada pulang.”
Puisi Rivai Apin dalam Tiga Menguak Takdir
Elegi
Apa yang bisa kami rasakan, tapi tak usah kami ucapkanApa yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah kami katakan
Janganlah kau bersedih – dan mari kami lanjutkan
Kami bawa ini kebenaran ke bintangnya dan ke buminya.
Kami pun tahu, karena ada satu kata dari kau yang kami simpan
Satu pandang dari tanah retak menggersang, lalu sedu menyesak dada
Ah, kenangan padamu akan terus memburu,
menakutkan seperti bayang di pondok seloyongan, bila pelita
telah dipasang
Tapi penuh kasih seperti Bapa yang mengulurkan tangan
Dan kau kembali, seperti di hari-hari dulu ketika kau dan ini
bumi masih mendegupkan hidup.
Kami tak kan lupakan kau, ketika memburu dan ketika lari
– karena apa yang kami buru dan apa yang kami lari
untuk itu kau mau serahkan nyawa
Dan kami yang menimbang jasamu
Pun tahu, seperti kau pun tahu, bahwa tak ada Dewa atau
Tuhan lain lagi yang berharga untuk dihidupi selain itu
Berhembusan topan di padang tandus ini
Tapi tapak kami yang tertanam di padang gersang, di mana kau
dalam terkubur
Melanjutkan nyala, dan kami yang tegak berdiri di sini ialah api
Kita tahankan hidup di ini malam, malam yang akan melahirkan siang
Kita adalah anak-anak dari satu Bapa
Kita adalah anak-anak dari satu Ibu
Dan mati kita hanyalah soal waktu
Tapi kita semua mempertahankan satu Tuhan.
Adik yang akan datang. Kakak yang telah pergi
Kita angkutlah tanah-tanah yang retak, ini tanah-tanah yang gersang.
Keberatan beban, kesakitan bahu memikul, dan kepahitan hati
akan kekalahan
Akan menyaratkan cinta pada kepercayaan yang kita peluk.
Kebebasan
Di atas hancuran tembok yang kuruntuhkanBerdiri aku atas kuda putihku, gaya dan jaya
Di hadapanku menghampar padang dan bukit
Dengan lengkungan langit yang membuatku lapar ruangan.
Lalu dadaku memberikan ruang
Bagi jantung yang memukul berdentangan
Memancarkan darah yang dia degap degupkan
Darah kudaku pun ikut menjalang dan dia
berlonjak-lonjakan oleh kekesalan
Lalu kulepas dan kami menderu pacu ke pantai-pantai.
Melalui Siang Menembus Malam
ISebelum gadis-gadis jadi remaja,
Sebelum daun-daun akan menghijau dan bunga berwarna segar,
Di sempit pinggiran, di mana batas hanya bisa dirasakan
– dan dia tidak akan meleset, tapi harus jujur dalam pengakuan –
Air mata akan menakik pipi
pikiran akan membakar hati,
menjadikan diri orang kering kurus sehabis nyala.
Musim kemarau telah bangkitkan
dan hembuskan dan sebarkan
napas kering maut,
Kebenaran kegembiraan dalam ledakan pertama
Dari balik tembok-tembok sepanjang gang-gang
maut mengintai tak kunjung putus
Manusia hanyalah anak dari beberapa jam.
Anak Manusia yang sekarang ini hanyalah tahu cita-cita yang patah,
burung-burung yang kehabisan nyanyi.
Dan hatinya, di padang kering, batu rengkah-rengkah digersangi harapan
Kini dia telah pahit mulut
dadanya berayutan, berat menarik ke dalam kubur.
II
Kebenaran kegembiraan dalam ledakan pertama
Kebenaran yang diakui hati
Tapi dipatahkan pikiran, karena
dia minta jaminan bagi kehidupan seperti manusia biasa.
Pahit pertama yang menyebar dalam mulut
dan menuba dada
Pengertian inilah:
dia telah mengaburkan batas
manusia biasa dan manusia luar biasa
Kedua-dua adalah anak-anak manusia
Yang ditentukan oleh beberapa jam
“pada pokok mula ialah perbuatan”
Kebenaran yang diakui hati tapi dipatahkan pikiran
manusia luar biasa minta jaminan bagi kehidupan;
Bagi orang yang lari sebagai binatang buruan: manusia biasa
Datang melecut pada luka-luka
dia yang telah lari ke dalam gua-gua terakhir
karena dia tidak mau jadi barang sewa.
III
Demi cinta dan jujur
mari kita berterus terang
Ini hidup yang menghampar di hadapan kita
demikian indah, demikian menarik, dan penuh goda
tapi jalannya telah menuju ke ketakutan
dan setan-setan di pinggiran jalan
bersorak-sorak menganjurkan.
Arus yang telah diikutkan
membuat lupa dan kemegahan
membuktikan ketakutan…
Adakah suatu kemegahan itu bumi
Adakah suatu kemegahan itu dasar
Kemegahan yang telah dihantui oleh ketakutan dan penyesalan,
tapi tak hendak diakui?
IV
Carilah penghabisan mimpi
Carilah penghabisan nyanyi
Tapi bagaimana? Kedua-dua tidak akan habis-habis
Kedua-dua akan putus-putus
Mereka kedua memang bisa,
memang bisa, tapi bagaimana…
V
Di mana akhir daerah akan terdapat
akhir daerah, yang membuka kaki langit
Tidak cukup kesepian, tidak cukup pembuangan
tidak cukup ketahanan dan kekuatan menjejak dasar
Tidak di atas tanah bumi, tidak di atas air laut
Dalam ketika-antara di dalam jarak bumi dan laut
Dan hirup udara dari dua rupa.
Bumi yang punya rupa dan nama
menguapkan awan sakal dan …
Di perhentian lanjut
Menyadari tempat dan ketika
Kemenangan dan kekalahan
Membuat pengakuan lalu pulang ke garis jalan,
Tujuan yang dimulai bersumber hati
VI
Di daerah tuju yang membuka kaki langit
di daerah yang setiap waktu dimandi hujan,
Biar di waktu siang atau di waktu malam.
Cari waktu yang tepat
Cari tempat yang wajar, dan ingat
Tidak ada waktu dan tempat bagi dia yang dilahirkan cahaya
dan hilang ditertawakan cahaya.
Dia yang dilahirkan di tengah malam terbongkar
dengan hutan rimba yang satu waktu patah-patah
dan lain waktu jadi padang kering
Dia akan hidup menuju pantai dan jadi penguasa
Karena dia percaya:
Inilah bumi, air , dan udara
Di atas mana, di dalam mana, dan di antara mana
Anak Manusia harus hidup.
Dia perhitungkan segala hidup
Dia buat perhitungan di tiap mati
Dia hanya menggenggam nilai
Laut kekalan yang tak kenal batas,
di atas mana kapal, hidup berlayar
Dia telah mandikan dirinya di dalam
biru, kejujuran laut dengan badai dan kaca
mata sumber segala yang hidup
kepundan yang memancarkan segala tenaga
Dan gadis dengan keindahan penuh sehabis badai,
Akan keluar dari laut yang biru bening.
Dari Dua Dunia Belum Sudah
Pagi ini aku dengar beritanya,Aku ke jalan
Orang-orang jualan dan hendak pergi kerja menepi-nepi
Oto-oto kencang, berat dengan serdadu-serdadu dan tank-tank
tak dapat digolakkan
Ada yang meronda, berdua-dua dan bersenjata
Di antaranya ruang lapan-lapan, tapi ada isi!
Semua beku padu:
manusia benda udara, tapi memperlihatkan harga
Aku pergi ke teman-teman berbicara, isi mengendap ke kelam
Berita: Jogja sudah jatuh, Maguwo… Karno tertangkap
Hatta, Sjahrir …
….
Kami berbicara, menimbang dan melihat kemungkinan
Semua dari satu kata dan untuk satu kata.
Senja itu aku pulang, sarat dengan berita dan kemungkinan.
Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah:
buku yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus
aku sudahkan,
Tapi untuk ini aku sudah tinggalkan Bapa dan Abang
Dan baru pula teringat ini hari baru satu kali makan.
– yang periuknya selalu terbuka – Dan aku sudahkan
keakuanku
di dalam ruang kuburan yang digalikan oleh nyala pelita di
dalam kegelapan.
Tapi malam ini menghentam, sepatu lares pada dinding
kegelapan yang tebal
Dan ketika mereka telah pergi terdengar ratap perempuan,
bininya atau ibunya.
Padaku tak usah lagi diceritakan, bahwa ada yang dibawa
Aku hanya bisa menekankan kepala pada papan meja,
Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar
pula ke dalam dunia yang belum sudah.
Tugu
Bila rumah dan mimpi telah hancurJangan kaukatakan:
Binatang-binatang pada mati, semuanya keindahan pada redup
Dan kau telah sendirian menghadapi kenyataan. Tapi ingat!
Ini waktu akan punya tugu, berukirkan kata mula dan kata akhir
Jangan ada yang pulang dengan darah dan air mata
Tapi sirami bumi, semuanya ini akan bangunkan kegemilangan
Batu kekalahan di atas batu kekalahan
Sekali waktu nanti akan menugu
di mana kita yang mengukir kemenangan