Sudah cukup lama aku tidak menulis di blog ini. Pertama, laptopku yang uzur sudah wafat. Aku hanya bisa menulis lewat Hp second yang aku beli setahun lalu dari rekan kerja. Hp tanpa casing belakang, hanya dilindungi sarung Hp dari karet yang bagian sisinya sudah rusak. Sehingga aku harus berhati-hati memegangnya, jika tidak maka akan jatuh.
Beberapa kali telah jatuh. Aku harus cukup sabar untuk menggantinya, sesaat nanti setelah gajian. Mungkin, jika tidak ada hal lain yang harus didahulukan.
Untuk menulis lewat Hp aku juga harus menahan transfer panas dari battery ke ujung kulit jariku.
Kalau tidak karena rindu, aku tidak akan melakukan ini!
Alasan kedua yang membuatku tidak semangat adalah pengunjung blog yang sepi. Aku pikir untuk apa menulis jika tidak ada yang membaca.
Alasan yang tidak kalah penting, aku kehilangan inspirasi. Orang yang membuatku berenergi kini membuatku terasa asing.
Barangkali jarak memberi efek mengerikan pada sebuah hubungan. Kekuatan cinta akan mencoba memberi kekuatan dan rasa percaya yang menenangkan. Namun di lain sisi-sisi, hubungan ibarat karet, besi atau apapun itu yang ditarik pada dua arah berlawanan, semakin jauh jarak, semakin lama tarikan itu terus bekerja, maka pada titik tertentu hubungan akan melewati batas elastisnya. Dengan kata lain, dua sejoli sedang dalam bahaya.
Aku memahami sulitnya menyikapi hubungan jarak jauh. Kedua hati akan mengeras dan merasa paling ingin dimengerti, atau timbul banyak benih pertengkaran, yang pada akhirnya menyingkirkan keduanya ke tepi.
Perasaan yang Tercabik-cabik
Jempolku mulai panas. Hp ini sudah overheat. Aku ingin terus menulis, menulis dengan jujur perasaanku. Betapapun akan menyakitkan hati.
Terus terang ada beberapa hal yang tidak mudah aku maklumi. Hubunganku dengannya telah menyebabkan aku menjadi magma, kini telah dingin tapi keras membeku. Seolah tak ingin melakukan apa-apa lagi.
Beberapa kali kami bertengkar, tepatnya berkali-kali. Dia jenuh, aku pun ikutan jenuh.
Masalah kurangnya komunikasi, sering menjadi alasan. Padahal, aku lebih sering tidak dipedulikan. Menunggunya menyelesaikan misi game-nya, berjam-jam kutempuh menanti pesan balasan. Tapi dia tidak menyadari lumut kebosanan itu sudah memenuhi kesabaranku. Lalu aku memilih diam, dan dia tidak coba mengeja apapun, selain perasaannya sendiri yang tidak dipedulikan.
Saat aku diam, saat itulah berarti aku jenuh. Tapi aku sadar, lelaki harus mengerti lebih banyak. Dan harus lebih cepat membersihkan parasit, kejenuhan itu.
Bagiku, semua ingin kubuat sesederhana mungkin. Artinya, suatu masalah harus sesegera mungkin dihapus, jika cukup sulit, maka menjadi sebuah catatan yang harus disimpan di tempat yang jarang di kunjungi di ruang hati. Dengan demikian, yang ada adalah hal-hal baru yang menyegarkan.
Beda lelaki dengan perempuan, bagi perempuan, suatu kesalahan akan disortir dan dibukukan dengan rapi. Maka sebelum menemukan suatu pemecahan masalah, dia akan melewati lebih dahulu catatan hitam tadi, sebelum sampai hal indah ditumpukkan bawah.
Sulitnya Menghadapi Sikap Moody Perempuan
Aku harus siaga tiap saat, bahkan pada detik-detik dia tertawa. Tidak ada alat mitigasi yang memberi petunjuk pada detik berapa moodynya muncul. Yang aku lakukan adalah mencoba sebaik mungkin mencegah hal yang menyinggung atau menyakitkan.
Tapi banyak hal yang bisa jadi penyebab. Entah aku, atau lingkungan terdekat. Aku selalu gagal mencapai titik ini.
Aku dalam kapasitasku, mencoba memahami bahwa moody hanya letupan-letupan kecil yang segera reda.
Hanyut Dalam Masalalu
Pahamilah bahwa setiap orang memiliki masalalu, entah itu indah atau kelamnya. Maka seorang kekasih bukan tidak ingin mendengarkannya, tapi menggesermu pada sudut pandang lain yang jauh lebih dibutuhkan, masa depan. Pada kondisi ini, mungkin kamu akan merasa seperti terseret, tapi sejatinya adalah untuk menghadapkanmu pada view atau panaroma kehidupan yang amat menakjubkan. Sikap konstruktif harus dilihat dari niat dan tujuannya yang baik, membangun selalu membutuhkan energi optimistik, atau kita akan terus berperang dengan masalalu dengan ujung kekalahan yang menyakitkan.
Dan jangan pernah membandingkan sosok dalam masalalumu, dan menghadirkannya pada bentuk ekspresi apapun. Jika kau melakukannya, kekasihmu akan kehilangan dirinya pada dirimu.
Memaafkan adalah Bagian Dari Kedewasaan
Aku tahu kesalahan akan sulit diterima. Sesulit itulah kedewasaan didapat.
Kadang aku ingin menjadi kanak-kanak, yang ternyata jauh lebih mudah memaafkan.
Membaca Diri Sendiri
Kita harus bisa membaca diri sendiri, karena orang lain mungkin akan membacanya dengan cara lain. Begitu juga penafsirannya akan berbeda.
Mengetahui diri sendiri jauh lebih baik, tentang kelemahan atau keburukan.
Aku dan sering dihadapkan dengan jalan buntu. Sering tidak mengelaborasi untuk menghadapinya, justru membenturkan pada ego masing-masing. Pada akhirnya aku yang lunak ini kalah.
Aku berpikir bahwa dengan autokritik akan lebih baik dibandingkan memberi wejangan. Tapi sinyalku lemah tak tertangkap. Nasihatku mental, kritikku hanya teridentifikasi sebagai hunusan pedang.
Kata-kataku makin surut dan akhirnya kering. Aku lebih memilih banyak diam. Toh upayaku tidaklah berarti.
Pada sebuah pemikiran, aku merasa tabiatku tidak memberi energi positif.
Saat ini, aku sudah mencapai titik nadhir kejenuhan.
Setiap masalah datang, kami hanya saling mengepalkan pembelaan. Sungguh membosankan, padahal sebenarnya bisa saling bersinergi.
Aku selalu tidak bisa marah. Padahal manusia pasti mungkin marah. Dia tidak bisa menghadapiku marah, lalu apa jadinya jika aku marah?
Aku sudah menjelmakan diri dalam pribadi yang lembut dan demokratis. Ternyata sikap itu tidak mendapat tempat. Padahal, aku adalah orang yang emosional.
Tidak terbayang, akan setersiksa apa dia drnganku.
Sejauh ini aku hanya melihatnya bertahan, bukan mempertahankanku. Semakin hari, aku merasa tiada. Semakin sulit aku menjadi lelaki.
Rindu Tak Pernah Bisa Ditipu
Dari sekian banyak kesibukan, aku lebih sibuk berpikir tentangnya, tapi pikiran tak pernah bisa dibaca.
Begitulah jika egoku bicara. Akan sangat menyakitkan.
Namun aku tidak bisa menampik. Kekuranganku, sikap, perlakuanku, adalah alasan terbesar yang membuatnya jenuh.
Aku ingin banyak waktu untuk mendapatkan kembali kepercayaan diri.
Kawan, mungkin dia akan membaca tulisan ini suatu waktu. Kau akan menilai aku sudah tidak peduli. Tapi sebenarnya aku masih rindu.