Aku tidak ingin membela diri, karena bagaimanapun aku akan kalah. Lalu aku mendiamkanmu, juga mendiamkan diriku. Antara kau dan aku adalah sama-sama pemberontak. Lalu aku memilih menjauh dari keduanya.
Berbulan-bulan aku mempelajarimu, aku adalah murid yang tak kunjung pandai.
Aku hanya tahu bahwa cinta adalah bahagia dan kemesraan, yang kemudian kudapati berupa-rupa pendapat dan pandangan.
Jika versi pembelaan, aku remuk. Tapi pengakuan remuk hanya menggagalkanku menjadi lelaki. Toh, nyatanya aku memang gagal.
Di lain versi, dirimu lebih remuk dan terluka. Dan sebenarnya kita berhak membela diri.
Berbulan-bulan yang terlewati, aku merasa tidak memberi faedah apapun terhadap orang yang sangat kusayangi. Sampai akhirnya aku menemukan jalan, bahwa menjauh jauh lebih berfaedah.
Berat sangat. Hanya saja, melihat kekasihku tampak tidak bahagia denganku, jauh lebih berat dan menyakitkan.
Apakah aku harus bertahan dan membiarkan rasa sakit itu menggumpal padanya? Tentu saja ini tidak bijak. Sementara caraku memperlakukan perempuan tidak kunjung mengagumkan.
Sedangkan egoku mengembang sejadi-jadinya, hanya karena terlahir sebagai lelaki, lantas ingin didengar dan dihargai.
Watak ini aku jadikan resesif selama ini, lalu akhirnya muncul jua.
Duhai Kekasih, cintaku mungkin tidak kekal, tapi tidak menjadi kebencian.
Dalam diriku ada beribu keburukan. Dan kau tahu sendiri, tidak ada hal menarik yang kupajang di etalase hidupku. Namun jika diajak bermimpi, aku bisa jauh lebih gila.
Aku bisa menjiplak bagaimana orang memperlakukan diriku. Namun sebisaku, aku tidak ingin menyakiti. Sebab dengan tidak ada ingin menyakitipun aku telah menyakiti.
Aku tidak kehabisan cinta, aku kehabisan energi. Manalah sudi kau menerima orang seperti ini?
Mungkin aku tidak mengarahkanmu dengan baik. Tapi, apa hakku selancang itu mengarahkan hidupmu?
Kau lebih dewasa dalam bersikap. Terbukti dari banyak hal yang mendera dan sanggup terlewati sampai saat ini. Aku? Tidak memiliki sepaket kemampuanmu, tidak pernah belajar seberat itu dalam hidup.
Maka aku hanya bisa berlaku sebagaimana biasanya. Tidak sampai pada kemampuan meredam gemuruhmu, tidak sampai pada teori bahwa kesabaran itu elastis. Aku hanya memiliki spec terbatas dalam menyuguhkan laku tingkah serta cinta yang kau butuh.
Aku sudah membaca, seperti apa posisiku. Sebuah kesimpulan yang kau bilang sepihak. Namun aku tidak punya ungkapan lain selain ''aku tidak dianggap'.
Sekeras apapun kau menyangkal, aku tidak bisa memahami pemahaman itu dalam bahasa lelaki.
Jangan pernah menghadirkan matahari sementara kau hanya menganggapku percik api.
Sementara sikapmu melemahkan semangatku. Bukankah kehilangan kepercayaan diri akan membuat seseorang mendebu?
Ah, rupanya aku membela diri juga. Maaf.
Di sini, detik-detikku lebih banyak kulewati untuk mencari cara menjemputmu. Di saat yang sama, kau mengira berbeda.
Saat aku sibuk bekerja, kau bilang aku kehilangan prioritas, dalam malam yang kosong kau lari dalam sibukkmu. Aku harus bagaimana?
Saat aku mencoba membangun komunikasi, kau telah selalu bilang lelah tak terperhatikan. Perlu kau tahu, sibukku juga untukmu. Hanya saja belum terlihat hasilnya. Disitulah aku tak bisa menjelaskan. Aku berpasrah.
Setiap orang memang tidak butuh omong kosong.
Aku tidak pernah kehilangan cintaku padamu. Dan tak ingin kehilangan rasa itu, sesuatu yang menurutku adalah kebahagiaan. Terlepas kau akan bersamaku atau tidak.
Aku mengerti bahwa semestinya lelaki berjuang lebih keras dari semua aspek. Sampai alenia ini, kau sudah tahu apa yang bisa kusuguhkan. Hanya sehidang rasa jenuh yang berkali-kali kau dapat.
Aku tidak ingin menasehatimu, kamu sudah cukup dewasa. Kau menasihati diri sendiri. Bagaimanapun tiap orang pasti memiliki kekurangan dan kesalahan.
Jika memang aku yang lebih banyak salah dan kurang. Tentu aku akan memperbaiki diri. Selalu, sampai habis detikku.
Mungkin kita akan dipertemukan, mungkin juga tidak. Apapun, aku ingin kau bahagia.