-->

Wajah Reformasi

Wajah Reformasi

Bandarlampung, 16 Juni 2011

Aku tak lagi melihat matahari tersenyum. Ia selalu tergesa-gasa menenggelamkan diri di ufuk barat. Menapaki khatulistiwa tanpa basa-basi, tak menyapaku seperti dulu. Wajahnya muram dan lesu, terkadang tampak pucat sekali.
Reformasi telah mengungsikan kami dari dalam benteng menuju padang kebebasan yang liar dan penuh ancaman. Kusaksikan sendiri, saudara-saudaraku masih tertembus peluru meski undang-undang melapisi dadanya. Aku telah berteriak, tapi yang kudengar adalah suaraku sendiri yang menggema berkali-kali.

Mendung selalu datang, tapi ini musim kemarau bagiku. Aku seperti kambing yang bingung hendak merumput di mana. Adik-adikku kehilangan hampir seluruh dagingnya untuk menyuapi rasa lapar. Mereka sangat kurus. Keadilan dan harapan adalah fatamorgana. Kali ini, kami seperti dididik menjadi makhluk kanibal. Yang diam akan membeku, yang bergerak harus siap menumpahkan darah. Duka adalah busana yang tak bisa kami lepas, jika pun bisa, kami mesti menanggung resiko: menelanjangi diri tanpa harga diri! 

Share this:

Disqus Comments